Emas Terpendam Itu Bengawan Solo
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Joglosemar, 23 Juli 2012, hal. 8
Bengawan Solo merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki Kota Solo. Sungai ini sangat fenomenal tidak hanya di Indonesia tetapi sampai mancanegara. Lagu keroncong legendaris ciptaan (Alm) Gesang Martohartono secara langsung turut memberi kontribusi bagi ketenaran sungai ini.
Ide Pemerintah Kota (Pemkot) Solo melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) untuk menyulap Bengawan Solo menjadi tempat wisata, patut kita dukung dan acungi jempol. Karena menilik pelbagai potensi yang dimiliki maka akan sangat disayangkan apabila potensi yang demikian besar tidak tergarap dengan baik.
Merujuk pada Rusdaryono (2007), dilihat dari segi kesejarahan, Bengawan Solo yang mengalir dari Wonogiri hingga ke Laut Jawa dekat Gresik, sejak abad XIII-XIV di zaman Kerajaan Majapahit, ternyata telah digunakan sebagai sarana transportasi dan perdagangan. Pada masa itu di sepanjang sungai terdapat pelabuhan-pelabuhan penting yang kemudian dikenal sebagai bandar-bandar (pelabuhan) perdagangan. Solo pun dikenal sebagai salah satu bandar perdagangan yang cukup penting di masa itu.
Penulis pikir, yang perlu dilakukan untuk menuju ke arah pemberdayaan kawasan Bengawan Solo sebagai tempat wisata adalah melakukan kajian berupa pengayaan serta pematangan konsep perencanaan mengenai program tersebut. Selain itu, upaya identifikasi maupun inventarisir pelbagai hal yang akan berhubungan dengan program tersebut harus segera dilakukan.
Tentu kita bersama tidak mau melihat sungai fenomenal ini—meminjam istilahnya Roger Trancik—menjadi ruang hilang. Trancik dalam Finding Lost Space (1986) mendefinisikan ruang hilang sebagai ruang yang tidak dapat memberikan manfaat serta kontribusi positif pada masyarakat atau lingkungan sekitarnya.
Secara realitas, kalau kita memiliki pandangan visioner. Bengawan Solo bisa dijadikan sebagai heritage trail yang menarik, ruang publik rekreatif, open space, ruang ekonomi, waterfront atau malah ruang pertunjukan seni budaya yang dapat memberikan nuansa berbeda (Rusdaryono, 2007). Kalau kita coba identifikasi, di sepanjang Bengawan Solo mulai Jurug hingga Joyontakan banyak aspek yang bisa digarap, semisalnya wisata air, lokasi pemancingan, wisata kuliner, wisata sejarah serta wisata budaya.
Apabila menyaksikan aliran sungai tersebut nampaknya berwisata menikmati secara langsung berlayar di Sungai Bengawan Solo dengan menggunakan transportasi air berupa perahu atau sampan yang disediakan sepanjang Jurug dan Joyontakan, merupakan potensi yang unik dan menarik. Apalagi upaya pioner dengan Festival Gethek Bengawan telah dilakukan di mana dapat dipadukan dengan tradisi Larung Jaka Tingkir setiap tahunnya.
Kemudian potensi lokasi pemancingan di pinggir sungai ini, belum ada, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan apalagi apalagi memancing adalah salah satu hobi yang digemari banyak orang. Mengenai paket wisata kuliner sendiri Pemkot Solo harus mampu berkolaborasi dengan penduduk sekitar sungai apalagi sekarang upaya relokasi pemukiman bantaran sungai sudah selesai sehingga ke depan potensi ini akan layak untuk dikembangkan.
Mengenai wisata sejarah dan budaya, di Kampung Sewu misalnya (salah satu kawasan pinggir Bengawan Solo) tepatnya sekitar abad XVIII saat lalu lintas perdagangan masih melalui jalur sungai, di kawasan ini pernah dibangun Pelabuhan Beton yang merupakan salah satu dermaga ke-43 dari dari titik-titik dermaga mulai dari Surabaya, Bojonegoro, Ngawi, Sragen hingga terakhir Sukoharjo. Bahkan Pelabuhan ini mulai difungsikan sejak zaman Kerajaan Majapahit sekitar abad XIV saat pusat Kerajaan Majapahit berada di Mojokerto (Hartono dkk, 2007).
Sayang tanda-tanda yang menunjukkan Beton sebagai sebuah dermaga atau pelabuhan hampir sudah tidak ada. Sebagai penanda kini di tanah bantaran yang tersisa di bekas Pelabuhan Beton tersebut telah dibuat relief batu besar. Hal ini tentu amat menjanjikannya sebagai wisata sejarah.
Selain itu, di kampung ini juga terdapat banyak situs peninggalan sejarah dan beragam ritual yang unik dan layak dijual sebagai salah satu konsumsi wisatawan di antaranya adalah Pohon Pamrih dan acara ritual Apem Sewu serta bangunan-bangunan kuno lainnya. Konon Pohon Pamrih adalah sebuah pohon jelmaan dari tongkat milik Sultan Hamengku Buwono I.
Sementara ritual Apem Sewu yaitu tradisi membuat dan membagi-bagikan kue apem sebanyak 1.000 buah, setiap tanggal 19 Dzulhijah yang sangat kental nuansa tradisionalnya tentu merupakan pesona tersendiri bagi masyarakat di luar terutama simpati dari para wisatawan domestik dan asing. Sehingga Pamrih dan ritual Apem Sewu merupakan aset khas yang memiliki makna penting sebagai salah satu objek wisata sejarah dan budaya.
Pelbagai potensi wisata Bengawan Solo tersebut, apabila dapat digarap dengan baik tentu dapat menjadi sarana penopang pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu alternatif kawasan wisata sekaligus memberdayakan ekonomi lokal di pinggir Bengawan Solo. Akhir kata, “emas terpendam” itu Bengawan Solo.
Lihat pula di:
http://www.harianjoglosemar.com/berita/emas-terpendam-itu-bengawan-solo-86712.html