Tamanisasi dan Ruang Publik Baru

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Joglosemar, 16 Juli 2012, hal. 8

Sumber Gambar: http://images.solopos.com/2012/07/ilustrasi-taman-sunaryo.jpg

Selama masa pemerintahan Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), di Kota Bengawan ini telah banyak bermunculan ruang-ruang publik baru. Sebagai contoh, kehadiran Taman Ngesus yang berada di samping Monumen Pers Solo, kemudian Taman Sekartaji di perempatan jalan menuju kawasan Mojosongo, ditambah sebelumnya telah dibangun pula Taman Tirtonadi yang berada di seberang jalan tepat di depan Terminal Bus Tirtonadi yang tak dapat dipungkiri telah menambah ruang publik baru di Kota Solo.

Hadirnya ruang publik ini sejatinya juga mengetengahkan adanya suatu nuansa wisata baru yang diharapkan mampu memberikan kesegaran sebagai alternatif wisata yang murah meriah bagi masyarakat.

Di Taman Tirtonadi, misalnya masyarakat dapat menikmati pemandangan berupa suguhan gemerciknya aliran sungai, melihat arus lalu-lintas kendaraan atau menikmati keindahan ruang-ruang yang ada di bagian dalam taman yang banyak dihiasi beraneka ragam pepohonan dan lampu-lampu yang menyala terang di malam harinya.

Selain itu, taman ini dapat pula menjadi wahana berbagai aktivitas/kegiatan seperti membaca, berdiskusi, sekedar berbincang-bincang dengan teman/keluarga atau sekedar melepas lelah dan mendinginkan pikiran dari penatnya rutinitas sehari-hari.

Bahkan belum lama ini, taman ini sempat pula dijadikan sebagai wadah aktivitas pendidikan berupa pelajaran menggambar (gambar sungai) ataupun belajar melipat kertas bagi siswa-siswi PAUD dan SD dari beberapa sekolah di sekitar Solo.

Di tempat ini pula, ada ruang berupa panggung untuk pementasan berbagai macam kegiatan kreatif seperti pagelaran seni, drama, musik dan sebagainya namun sayangnya belum banyak pihak yang memaksimalkan wahana ini. Sehingga hal yang harus diupayakan adalah memaksimalkan ikhtiar guna “menghidupkan” ruang publik ini.

Jika tidak maka bisa jadi taman ini, meminjam istilah Roger Trancik dalam Finding Lost Space (1986), hanya akan menjadi ruang yang hilang karena tidak mampu memberikan manfaat bagi para pengguna atau lingkungan sekitarnya.

Begitu pun dengan di Taman Sekartaji, masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai tempat untuk santai, berjalan-jalan, berrelaksasi sejenak atau pun menggunakannya untuk lari pagi (jogging) maupun olahraga di sore hari karena memang terdapat trek yang memungkinkan untuk aktivitas berolahraga.

Sementara, di Taman Ngesus, yang berada strategis karena dekat dengan Monumen Pers, rumah dinas Wakil Walikota maupun penginapan tentu memberikan suasana yang berbeda pula. Di sini kita dapat bersantai sembari membaca buku, koran, majalah yang dipinjam dari perpustakaan Monumen Pers, atau sekedar duduk-duduk, berdiskusi sambil melihat tanaman-tanaman dan kolam ikan dengan air mancur yang terdapat didalamnya.

Menilik realitas tersebut, tidak dapat dimungkiri bahwa sesungguhnya keberadaan ruang publik mampu memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, antara lain: tidak hanya mampu memberikan keindahan yang bersifat alamiah dan mencerminkan nilai budaya, ruang publik juga mampu memberikan penyembuhan atau meringankan tekanan dari kehidupan seperti kebisingan, kepadatan lalu-lintas dan keserawutan kota sekaligus mampu berperan sebagai panggung bagi berbagai aktivitas/kegiatan masyarakat.

Hal ini senada dengan apa yang dimaknai oleh Jurgen Habermas (1989) bahwa ruang publik (public sphere) merupakan suatu tempat berinteraksinya individu-individu dengan latar belakang yang berbeda-beda dalam satu tempat (ruang), satu waktu dan dinamika kegiatan yang beragam. Tabik.

Lihat pula di:

http://www.harianjoglosemar.com/berita/tamanisasi-dan-ruang-publik-baru-85432.html