Menyoal Deviasi Sosial di Ruang Publik

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Joglosemar, 30 Juli 2012

Sumber Gambar: http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/

Ikhtiar yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo dalam merealisasikan amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mensyaratkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau (RTH) pada suatu wilayah kota paling sedikit sebesar 30% dari luas kota tersebut masih terus digencarkan. Dan hingga saat ini, RTH di Kota Solo telah mencapai sebesar 18,23% (Joglosemar, 24 Mei 2012).

Oleh karena itu, kebijakan Pemkot Solo dalam melakukan terobosan berupa menyulap areal bagian bantaran sungai Kalianyar menjadi Taman Tirtonadi yang menarik dimana sebelumnya adalah sebagai tempat pemukiman liar; lalu memanfaatkan bagian tanggul dan mempercantiknya dengan membangun taman dilengkapi dengan track untuk jogging (Taman Sekartaji), juga memaksimalkan lahan sempit yang ada di sudut kota untuk membuat RTH berupa berupa taman yang menyejukkan (Taman Ngesus) yang indah tentu patut diacungi jempol. Belum lagi perbaikan terhadap RTH lainnya di Kota Solo.

Keberadaan ruang-ruang tersebut bagi publik tentu sangat bermakna dan bermanfaat tidak hanya sebagai public sphere dan paru-paru kota melainkan juga menjadi suatu panggung serta wadah relaksasi kehidupan manakala kita duduk di dalamnya. Kita ambil contoh pertengahan tahun lalu, di Taman Ngesus digelar musik taman kota oleh sekelompok remaja pecinta taman kota. Ini tentu patut kita apresiasi bersama.

Selain itu, merujuk pada Adams (1952) sebagaimana dikutip Prasetijaningsih dan Riyan (2012: 21), RTH setidaknya memiliki tiga fungsi dasar, yaitu secara sosial, fisik, dan estetik. Secara sosial, RTH merupakan fasilitas untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan, dan olah raga. RTH dapat menjadi tempat untuk menjalin komunikasi antar masyarakat kota.

Sedangkan secara fisik, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, melindungi sistem tata air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, dan menahan perkembangan lahan terbangun (sebagai penyangga). Pepohonan dan vegetasi yang ada di RTH dapat menghasilkan udara segar dan menyaring debu serta mengatur sirkulasi udara sehingga dapat melindungi warga kota dari gangguan polusi udara.

Lalu secara estetik, RTH kota berfungsi sebagai pengikat antar elemen gedung, sebagai pemberi ciri dalam membentuk wajah kota, dan juga sebagai salah satu unsur dalam penataan arsitektur perkotaan.

Sehingga secara hakikat dan semangat, upaya membuka RTH melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang dilakukan oleh Pemkot Solo berupa tamanisasi dan lain sebagainya tentu merupakan suatu hal yang baik. Namun yang menjadi catatan adalah jangan sampai hal tersebut hanya berhenti pada taraf membuat karena munculnya RTH sebagai bagian dari ruang terbuka (open space) dalam sebuah kota memerlukan adanya maintenance yang baik dan teratur sehingga tidak akan mubazir, tidak terawat, rusak dan terbengkalai.

Belum lagi tingkat kesadaran dan apresiasi masyarakat dalam menjaga milik publik seperti taman atau ruang publik dan lain sebagainya masih minim. Semisal kerap membuang sampah sembarangan, merusak bahkan mencuri fasilitas-fasilitas yang ada di dalamnya serta berbagai aksi vandalisme marak ditemui di ruang-ruang publik tersebut.

Oleh karena itu, upaya penguatan dari pemkot serta penumbuhan kesadaran masyarakat harus terus ditingkatkan. Kemudian,  hal lain yang harus diwaspadai adalah munculnya potensi penyimpangan (deviasi sosial) terhadap keberadaan ruang-ruang tersebut. Tentu kita dapat melihat di beberapa titik ruang publik kerap dijadikan wahana yang kurang tepat bahkan tidak sesuai peruntukan adanya ruang publik, tamanisasi atau terbuka hijau tersebut misal arena mabuk-mabukan, pacaran hingga menjurus ke arah perbuatan mesum. Hal ini tentu harus menjadi perhatian serius kita bersama.

Kota Solo boleh dikatakan kini telah mengarah kepada apa yang dinamakan sebagai kota hijau (green city) sebagaimana didengungkan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN).

Yang menjadi catatan penting, terma kota hijau ini tentu bukanlah sekedar “menghijaukan kota” dengan tanaman dan taman melainkan harus merupakan perwujudan dari kota yang ramah lingkungan secara sinergis dan menyeluruh dengan segenap aspek yang ada. Dalam hal ini partisipasi masyarakat menjadi kata kunci sehingga upaya merangkul dan menggandeng masyarakat mutlak diperlukan sebagai langkah penguatan kontrol sosial yang berbasiskan masyarakat.

Hal yang tidak dapat dimungkiri adalah bahwasannya RTH menjadi salah satu elemen penting menuju kota sehat yang dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas udara maupun meningkatnya emisi dari angkutan/mobil, industri, dan lain-lain, serta menjadi sarana hiburan dan tempat bersantai yang akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya.

Semua ini hendaknya menjadi pelajaran bagi segenap komponen yang ada untuk memberikan apresiasi positif dengan menjaga dan menghargai keberadaan ruang publik sehingga nantinya dapat diketahui betapa pentingnya keberadaan ruang publik dalam memberikan keselamatan, keseimbangan, dan vitalitas bagi lingkungan sekitarnya. Semoga.

Lihat pula di:

http://www.harianjoglosemar.com/berita/menyoal-deviasi-sosial-di-ruang-publik-87995.html