Nasionalisme ala Tan Malaka
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Joglosemar, 27 Agustus 2012, hal. 8.
“Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan pecahkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan-galah benderamu di atas bentengnya itu. Janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapa saja. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang “selayaknya” bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah…dengan massa berbaris menuju penuntutan hak dan kemerdekaan” (Tan Malaka dalam Massa Actie, 1986).
Kutipan ini adalah buah pikir dari seorang tokoh pahlawan bangsa Indonesia, Tan Malaka. Ia merupakan salah satu dari sekian banyak kaum terdidik (terpelajar) yang dimiliki negeri ini. Di kalangan Founding Fathers, ia dijuluki sebagai “Bapak Republik Indonesia”. Ia adalah pejuang revolusioner dalam mengusir kolonial Belanda khususnya dan hegemoni kapitalisme internasional umumnya, yang beroperasi baik dalam dan luar negeri.
Dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu mentalitas dan sistem pemikiran mistis dan pasif menuju kepribadian nasional yang rasional aktif, ia pun berjuang dengan pena, dengan menulis banyak artikel dan buku. Salah satu bukunya yang sangat terkenal berjudul Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika) (Rambe, 2003).
Sebagaimana tersirat dalam karya Benedict R.O’G. Anderson dalam bukunya Java in a Time Revolution (1972). Anderson melihat bahwa dalam revolusi Indonesia atau kemerdekaan, dalam pandangan Tan Malaka adalah kemerdekaan 100% di mana menggambarkan revolusi keseluruhan baik mental maupun fisik, yang berarti revolusi dalam persamaan sosial.
Hingga saat ini, Tan Malaka dengan tegas menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia dari dahulu sampai sekarang masih terkungkung dalam apa yang disebutnya “riwayat perbudakan”. Walaupun Indonesia telah mengalami penjajahan oleh berbagai kapitalis, tetapi yang lebih ditakutkannya adalah perbudakan melalui sistem feodal yang telah memperbudak bangsanya sebelum itu.
Dalam analisis mengenai masyarakat dengan jelas Tan Malaka menyatakan dari dahulu sampai sekarang “bangsa Indonesia selalu jadi wayang” yang dimainkan oleh “luar negeri sebagai dalangnya”. Maka apabila hal ini tidak segera dilakukan pembenahan sudah tentu kita hanya akan berpredikat meminjam ungkapan Soekarno sebagai “total menjadi negara kuli” (Een natie van koelies, en een kolie onder de naties). Di mana bangsa Indonesia dalam sejarahnya senantiasa sebagai lahan pengaruh bagi produksi nilai yang “bahannya” tidak dari Indonesia.
Menurutnya ada dua hal yang harus dihilangkan sekaligus dalam perjuangan. Pertama, imperialis kapitalis yang telah menjajah bangsanya sejak lama. Apabila ditarik dalam konteks sekarang yaitu termasuk imperialisme bentuk baru, meminjam istilah Noam Chomsky (2008), sebagai Neo Imperialisme berikut dengan berbagai turunannya. Kemudian kedua, mengenyahkan feodalisme yang telah memperbudak bangsa sebelum penjajah Belanda datang, dan ini sampai sekarang masih tetap berlangsung.
Selama feodalisme masih ada selama itu pula kemungkinan penjajahan bangsa asing terhadap bangsa Indonesia masih tetap terbuka. Tan Malaka pernah menjelaskan bahwa sebenarnya Indonesia adalah mata rantai yang paling lemah dalam rantai koloni Asia. Jadi, menurut Tan Malaka sudah seharusnya bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa memperkuat dirinya demi sebuah kepribadian bangsa yang hakiki.
Lihat pula:
http://www.joglosemar.co/berita/nasionalisme-ala-tan-malaka-92635.html