Study Club: Ruang Alternatif Melawan “Pemasungan”
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Joglosemar, 14 Mei 2012
Potret mahasiswa yang penuh gagasan inspiratif, mampu membebaskan serta memberikan sumbangsih positif bagi masyarakat, tentu merupakan sebuah dambaan ideal. Oleh karena itu, ikhtiar dan bukti harus terus ditorehkan mahasiswa untuk meneriakkan bahwa harapan serta dambaan tersebut bukan sekadar utopia belaka.
Melihat realitas kehidupan diskursus ilmiah kampus yang dapat dikatakan kerap mengalami mati suri dalam berbagai bentuk, semisalnya matinya ruang kuliah, matinya kritisisme berpikir, jebakan rutinitas kampus dan sebagainya. Melihat realitas itu, kita semua tentu tidak mengharapkan sosok mahasiswa yang tumpul dalam berpikir dan hampa kehendak.
Sebentuk ikhtiar untuk meminimalisasi efek negatif dari kondisi “mati suri” tersebut adalah salah satunya dengan mengupayakan pembentukan kelompok studi (study club) sebagai basis penguatan kesadaran dan pengetahuan dari berbagai buaian rona-rona kehidupan kampus. Selain juga warna-warni dunia mahasiswa yang kerap meninabobokan dan kian bergaya hedon.
Melihat entitas sebuah kelompok studi, apabila kita merujuk pada konsepsi Jurgen Habermas dalam The Structural Transformation of The Public Sphere (1962), dapat dikatakan bahwa kelompok studi merupakan suatu bentuk public sphere. Di mana konsepsi ini merujuk pada sebuah arena atau pentas di mana warga negara mampu melempar opini, gagasan dan pandangan serta merupakan wujud komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana dan kehendak bersama secara diskursif.
Sehingga dapat ditegaskan bahwa dalam kelompok studi, kita dapat melakukan suatu sosialisasi dan transformasi gagasan/ ide dengan menjadi ruang untuk dapat saling bertukar pikiran dan berinteraksi dalam pergulatan wacana ilmiah. Serta sebagai ruang belajar kritis untuk menyikapi realitas kampus, mengkritisi kondisi iklim ilmiah kampus, seputar lembaga kemahasiswaan ataupun kondisi kampus secara umum bahkan merefleksi situasi nasional.
Saya pikir, basis-basis perlawanan memang sudah seharusnya dirintis dan digelorakan oleh siapa saja yang tidak ingin terpasung dan terkekang dalam rutinitas kampus serta matinya ruang kuliah. Sekaligus menjadi simpul kekuatan mahasiswa dalam menyebarkan semangat kesadaran untuk melahirkan apa yang dinamakan meminjam terminologinya Paulo Freire—sebuah kesadaran kritis (critical conciousness).
Hal-hal ini saya rasa menjadi sesuatu yang penting akan adanya ruang alternatif tersebut. Kemudian menjadi suatu ihwal penting bahwa kelompok studi harus mencerahkan mahasiswa lain yang terlanjur terbungkam kesadarannya alias oportunis, pragmatis dan apatis akan kondisi realitas di sekitarnya. Untuk melahirkan tahapan selanjutnya, yakni kesadaran kolektif dan konstruktif guna menciptakan suasana kampus yang ideal di tengah benturan waktu dan zaman.
Misalnya, dengan menyebarkan hasil diskusi melalui berbagai media yang memungkinkan untuk mendiseminasikan informasi tersebut semisal majalah dinding (mading), pamflet, media sosial dan sebagainya untuk menciptakan kesadaran di kalangan mahasiswa mengenai keadaan kampus ataupun permasalahan lainnya.
Namun, jangan sampai pula bahwa kelompok-kelompok studi ini nantinya hanya akan menjadi sebuah pelarian semata, apabila dalam praktiknya hanya untuk menguntit proyek-proyek dosen. Semisal penelitian tanpa mau peduli dengan kebutuhan kolektif berupa pencerahan di ruang kuliah, iklim ilmiah serta kondisi di kampus ataupun kondisi realitas di sekitarnya. Dan apabila benar memang terbukti seperti itu, maka dapat dikatakan jangan-jangan para penggiat kelompok studilah yang menciptakan budaya baru, yakni budaya ilmiah yang naif. Tabik.
Lihat pula: