Matinya Ruang Kuliah

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Joglosemar, 23 April 2012

Suasana kampus yang dinamis nan hidup dengan beragam diskursus ilmiah dan intelektual sudah seharusnya menjadi dambaan bagi mahasiswa. Apalagi mahasiswa adalah golongan intelektual yang keberadaannya memperoleh tempat dan dianugerahi gelar yang tinggi di tengah masyarakat. Mulai dari agent of change, kalangan terpelajar, avant garde dan lain sebagainya.

Namun, pertanyaannya bagaimana bila kondisi tersebut tidak ada. Entah itu disebabkan oleh matinya ruang kuliah, matinya aktivitas ilmiah di kampus, tuntutan kurikulum pendidikan yang ”memaksa” terberangusnya kultur ilmiah ataukah memang demikian kondisi realitas mahasiswa saat ini yang mudah ”menyerah” dalam menghadapi arus perputaran zaman?

Menjawab beberapa pertanyaan di atas, saya pernah berdiskusi dengan seorang kawan, dia bercerita bahwa di ruang kuliah proses dialektis ideal belum sepenuhnya terwujud entah itu disebabkan oleh sang dosen atau mahasiswa sendiri. Hakikat pendidikan sebagai sebuah proses kehidupan serta interaksi kemanusiaan kerap belum nampak secara menyeluruh untuk tidak mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada sama sekali.

Kemudian mengenai kultur ilmiah di kampusnya sendiri, ia menyatakan cukup menyedihkan, selain karena semakin padatnya jadwal perkuliahan juga karena sikap mahasiswa-mahasiswanya yang kerap egois dan cenderung individualis serta tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Teman saya ini pun, menuturkan bahwa sepertinya mahasiswa di kampusnya lebih asyik ngerumpi mengenai tren atau selebritas kampus ketimbang peduli dengan keadaan kampusnya.

Mahasiswa seakan lebih gandrung terhadap hal-hal yang sebetulnya tidak memiliki urgensitas yang tinggi dan cenderung remeh-temeh. Menilik dari diskusi dengan seorang kawan saya tersebut, walaupun tidak menjadi generalisasi bahwa masih ada sebagian mahasiswa yang masih kritis dan peduli namun nampaknya fenomena ini patut menjadi sebuah refleksi bersama.

Matinya ruang kuliah yang ideal sebagai agen pembelajaran, ruang pembentukan kepribadian serta pengayaan pengalaman hendaknya mendorong mahasiswa untuk menciptakan ruang-ruang alternatif sebagai bentuk ”perlawanan”. Kelompok studi (study club) merupakan salah satu bentuk ruang alternatif tersebut.

Dalam catatan sejarah mahasiswa, kelompok studi mampu mengambil peran sentral sebagai kantong-kantong perlawanan underground. Kita ambil contoh masa 70-an dan 80-an yang mampu melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Soe Hok Gie, Arief Budiman, dan lain sebagainya.

Mereka semua berkutat secara intelektual dalam kelompok-kelompok studi maupun organisasi yang mereka ikuti. Kita tentu masih ingat limited group bimbingan Mukti Ali yang melahirkan beberapa tokoh-tokoh intelektual di antara nama-nama yang saya sebutkan tadi.

Mencermati kondisi saat ini, tentu dibutuhkan suatu ikhtiar untuk melakukan perubahan dan pergerakan guna menyikapi realitas yang ada. Mahasiswa tentu tidak pantas untuk sekedar mengeluh, meratapi, menghujat dan mengutuki keadaan. Upaya yang diperlukan adalah sebuah ikhtiar untuk mulai keluar dari lingkaran matinya ruang kuliah tersebut.

Tentu mahasiswa sebagai generasi penerus bukanlah sosok yang puas untuk terus berdiam diri dan menerima berkubang dalam satu titik dari peta besar permasalahan pendidikan di negeri ini. Kecuali memang mahasiswa sudah kehilangan taji pembaharuan dan kritisismenya. Hanya menuntut dan berkoar tanpa berbuat tentu bukan sosok generasi penerus bangsa yang ideal.

Setidaknya semangat untuk terus menggelorakan iklim ilmiah dan intelektual kembali patut menjadi catatan bagi mahasiswa-mahasiswa di kampusnya saat ini. Iklim ilmiah dan intelektual tentu bukan hanya sekedar berani tampil beda. Tapi, kesanggupan merumuskan gagasan-gagasan yang kreatif dan produktif.

Untuk menyemai ”tradisi” ini butuh adanya komitmen dan kemauan yang kuat dari para pegiat kelompok studi mahasiswa guna menumbuhkan kesadaran kolektif dan konstruktif yang sarat muatan kebaikan tentunya bagi perbaikan minimal kondisi realitas di sekitarnya. Tabik.