Sinetron dalam Jeratan Industri budaya
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Harian Pelita, 29 April 2010
Belum lama ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melalui Koordinator Bidang Isi Siaran Yazirwan Uyun, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2009, KPI memberikan 55 teguran, 43 imbauan, 8 klarifikasi, 8 peringatan dan menghentikan sementara penayangan 7 program. Yang menarik adalah jenis program yang paling sering mendapatkan teguran adalah sinetron, yakni 31,3 persen atau 40 kasus dibandingkan dengan program lainnya semisal reality show dan infotainment (Kompas, 9 Maret 2010).
Seringnya teguran yang disampaikan ditengarai karena dalam tayangan sinetron kerap mengumbar adegan kekerasan, amoralitas, sensualitas, vulgar sekaligus banal dalam sajiannya. Hal-hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri karena penggarapan sinetron sangat tergantung pada tema dan setting sosial yang dibangun atas “permintaan pasar” bahkan intervensi tersebut masuk ke ranah kreatif sampai kepada penggunaan bintang pemerannya (Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu, 2005).
Hal senada juga disampaikan Agus Sudibyo dalam Ekonomi Politik Media Penyiaran (2004), dimana ia mengutarakan bahwa nampaknya orientasi bisnis terkait dinamika dan logika komersial memang lebih didahulukan industri media saat ini tidak terkecuali televisi. Apalagi bisnis penyiaran televisi adalah bisnis yang padat modal.
Sehingga tidak salah jika wajah sinetron kita menampilkan wajah yang tidak ramah bagi proses edukasi masyarakat ditambah kini amat sulit mendapatkan realitas sosial dalam sinetron Indonesia karena yang ditampilkan cenderung serba hiperealitas (realitas semu) dan artifisial belaka kalaupun ada tayangan sinetron berkualitas itu pun jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Ini tidak lepas bahwa media termasuk televisi, meminjam istilah Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983)—media mempunyai logika sendiri dalam menangkap realitas. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena televisi telah masuk dalam sebuah industri budaya (cultural industry).
Dalam industri budaya diproduksi “repertoir” barang-barang, simbol-simbol dalam bentuk benda-benda dan jasa budaya sebagai suatu komoditas dengan harapan menarik khalayak sekaligus menyertakan khalayak sebagai konsumen komoditas tersebut (Garnham dalam Marris dan Torham, 1997).
Menurut logika ini tentunya tidak peduli apakah tayangan sinetron itu menampilkan hal-hal yang berbau kekerasan, seks dan amoralitas yang penting adalah tayangan ini laku di masyarakat serta mampu mendongkrak rating dimana posisi rating tentunya berujung pada rupiah yang masuk melalui iklan. Menurut penulis selain logika bisnis, miskinnya kreativitas para pembuat sinetron juga turut membuat ide-ide cerita hanya stagnan pada eksplorasi hal-hal di atas atau pun cuma berkutat pada harta, tahta, wanita dan cinta.
Tentu kita masih ingat sinetron seperti Si Doel Anak Sekolahan, yang mampu menampilkan sisi berbeda dan setting sosial yang tidak pernah disentuh dimana “sangat pribumi” sekaligus memiliki nilai edukasi. Begitu pun dengan Bajaj Bajuri yang memperlihatkan sketsa-sketsa sosial yang terjadi di masyarakat. Kedua contoh tersebut membuktikan bahwa eksplorasi kreativitas merupakan senjata ampuh untuk mendapatkan popularitas, rating dan akhirnya iklan tanpa menghilangkan unsur hiburan dan edukasi akan sebuah perjuangan dan realitas hidup sehari-hari.
Menurut penulis, ajakan KPI agar masyarakat berperan aktif memantau semua tayangan dan melaporkan tidak akan efektif tanpa disertai upaya untuk melakukan edukasi dan pencerdasan di kalangan masyarakat itu sendiri untuk menumbuhkan adanya self censorship. Karena walaupun KPI bertugas sebagai institusi yang melindungi hak-hak masyarakat untuk mendapatkan tayangan berkualitas yang sehat dan mendidik namun KPI tentunya memiliki keterbatasan untuk mengcover seluruh tayangan yang ada di televisi terlebih sinetron dalam upaya mengeliminasi efek mediasi tidak sehat tayangan tersebut di masyarakat. Apalagi Indonesia terkenal sebagai negeri sinetron.
Oleh karena itu, hal mendesak yang perlu disosialisasikan dan direalisasikan adalah gerakan melek media (media literacy movement) untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran bermedia. Karena yang dibutuhkan saat ini bagi publik yaitu tidak hanya mengatur media itu sendiri, melainkan juga mengedukasi serta memberdayakan masyarakat akan pentingnya kemampuan melek media agar masyarakat mampu menghadapi berbagai “serangan” tayangan televisi yang berkualitas rendah. Sehingga kedepan tingkat kekritisan masyarakat tidak hanya sebatas dapat mengeluh, memaki atau mencerca sinetron maupun program televisi lainnya melainkan mampu bersikap dan melakukan aksi terhadap tayangan tersebut minimal untuk pribadinya (self censorship).
Sayangnya, hal ini masih minim dan belum massif dilakukan di Indonesia padahal kemampuan kritis terhadap media untuk membatasi akses, menempatkan berbagai informasi secara tepat yang berasal dari media serta dapat memilih isi media yang sehat dalam artian mengerti mana yang layak untuk diterima dan harus ditolak mutlak diperlukan bahkan sedini mungkin harus diajarkan bagi anak-anak maupun remaja untuk menangkal dampak negatif berbagai tayangan televisi apalagi—meminjam ungkapan Garin Nugroho—televisi telah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai sahabat populer masyarakat sekaligus musuh keluarga yang sulit diusir karena kepopulerannya.