Meruntuhkan Arogansi Negara

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Harian Pelita, 6 April 2011

TIDAK pelak lagi, negara didirikan atas sebuah kesadaran kolektif untuk melindungi segenap bangsa dan warganya. Namun, melihat insiden yang terjadi di Subang tepatnya aksi kekerasan yang ditenggarai dilakukan oleh bupati dan aparatnya dengan merusak sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Subang serta menganiaya kader-kader HMI di sana tentu merupakan fakta ironis. Insiden ini seakan mengafirmasi bahwa negara kini kian abai dan lalai dalam melindungi warganya. Eksistensi negara yang dibentuk untuk melindungi bangsa dan warganya menjadi kian harus dipertanyakan.

Meminjam terminologi Louis Althusser dalam Essays on Ideology (1984), apa yang terjadi di Subang dapat dikategorisasikan sebagai kekerasan berupa Repressive Aparatus State. Perangkat pemerintah tadi dapat dikatakan mewakili simbolisasi negara yang seharusnya melindungi warganya bukan malah sebaliknya. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bersama akan insiden serupa yang menimpa kader-kader HMI Cabang Makassar belum lama ini.

Apa yang terjadi di Subang dan di Makassar sebelumnya seakan mengafirmasi hasil jajak pendapat Kompas 14 Februari 2011 lalu bahwa kehadiran negara semakin dipertanyakan! Hasil jajak pendapat itu menyebutkan mayoritas responden mengatakan ketidakpuasannya terhadap negara dalam hal-hal seperti menjamin hak hidup warga negara, mengusahakan kesejahteraan rakyat, menjamin kesamaan hak/tidak diskriminatif, menjamin hak berkumpul dan menjamin hak atas rasa aman.

Patut kita sadari bersama bahwa kekerasan merupakan antitesis dari sistem demokrasi yang hendak dibangun. Negara sudah seharusnya menjadi perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat bukan malah mencerai-beraikannya layaknya ingin membuat new clash of civilization di dalam masyarakat yang memang sedang menderita akhir-akhir ini karena berbagai kelalaian pola urus negara.

Negara berkewajiban melindungi segenap rakyatnya. Apabila memang terbukti benar bahwa dalam aksi kekerasan itu bupati beserta aparatnya merupakan pelaku, maka hal ini tentu merupakan sebuah tragedi yang menambah daftar kelam kekerasan yang dilakukan negara terhadap warganya. Melihat realitas yang ada, tentu peran-peran yang diharapkan dari negara sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan warganya seakan menjadi hambar dan kabur. Gambaran aparat negara sebagai pengayom masyarakat yang senantiasa mengedepankan sikap santun dan humanis seakan tercabik oleh insiden Subang tersebut. Bagaimana bisa memerankan peran-peran tersebut bila negara malah terjebak dalam aksi anarkis dan kekerasan kepada warganya sendiri?

Mengacu pada terminologi sosiolog UI Imam B Prasojo bahwa tindakan kekerasan adalah sebuah tindakan yang primitif. maka sudah seharusnya aparat pemerintah senantiasa belajar dan merenung karena kekerasan tentu tidak sejalan dengan status “abdi negara” yang disandang.

Kita harus mulai waspada jangan-jangan negara kita ini sudah masuk dalam kategori “negara gagal”. Negara gagal menurut Peter Burnell dan Vicky Randall (2008), dicirikan dengan ketidakberfungsian institusi negara dan demokrasi yang membawa dampak buruk bagi perkembangan politik, ekonomi, dan sosial. Termasuk didalamnya adalah adanya indikasi kohesi sosial yang memburuk dan membusuk.

Melihat realitas yang terjadi di Subang, maka sudah waktunya bagi kita untuk bersama-sama meruntuhkan arogansi negara. Sudah bukan saatnya lagi pendapat dan kritik dibungkam dengan semena-mena dan dituduh dengan subversif, sebagaimana disampai Wiji Thukul dalam puisinya Peringatan (1986). “…apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya satu kata: lawan!”

Merujuk pada Sulastomo dalam Hari-hari yang Panjang (2008), sudah semenjak dahulu HMI senantiasa kritis terhadap sesuatu yang tidak benar. HMI merupakan salah satu kekuatan moral bangsa dan sebagai pressure group yang menyuarakan suara-suara kebenaran dan keadilan sebagai ejawantah dari pelaksanaan independensi HMI. Penyerangan dan penganiayaan sebagai buntut dari penyuaraan perlawanan terhadap koruptor di Subang tanpa terkecuali dapat dikatakan telah mencederai dan melecehkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Apabila ada kalangan yang merasa keberatan dan dirugikan, tentu mereka dapat melakukan upaya penyampaian dengan cara yang benar, bukan melalui tindakan kekerasan yang malah akan menyulut konflik. Penulis berpikir harus ada sebuah pengusutan tuntas terhadap insiden Subang dan menindak secara tegas oknum-oknum yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut.

Susane Buckley-Ziestel (2008) adalah salah seorang peneliti sosial yang mengategorikan dan membedakan konsep penyelesaian konflik (conflict settlement) dengan resolusi konflik (conflict resolution). Penyelesaian konflik hanya berupaya mencapai jalan keluar yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang berseteru. Sementara itu, resolusi konflik merupakan jalan keluar berdasarkan pemahaman terhadap sumber masalah yang menjadi penyebab konflik.

Penulis berpikir tahapan yang harus ditempuh adalah resolusi konflik dimana diharapkan adanya dialog yang lebih difokuskan agar semua pihak yang terlibat mau mendengarkan pihak lain agar saling memahami demi mencapai hasil yang dikehendaki. Namun hal yang paling urgen adalah pengupayaan resolusi konflik yang betul-betul mengena. Linda L Putman dalam tulisannya “Conflict Management and Mediation” (2009), menyampaikan bahwa ruang dialog memegang peranan penting dalam resolusi konflik. Oleh karena itu, ini tentunya harus dimulai dengan kemauan semua pihak yang terlibat konflik untuk mengakhiri konflik dan mencari jalan keluar.

Penulis secara pribadi mengajak rekan-rekan sebangsa dan setanah air untuk bersama mengutuk dan mengecam keras segala bentuk aksi represif, premanisme, dan anarkisme yang dilakukan baik oleh negara maupun kelompok-kelompok non-negara yang meresahkan keamanan dan ketertiban dalam kehidupan berwarga negara serta mengajak kepada semua pihak untuk menghilangkan segala bentuk arogansi yang malah akan mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Ke depan sudah saatnya bagi kita semua yang mengaku bagian dari bangsa ini, baik itu warga negara maupun aparat negara, untuk mengubur sikap anarkisme, premanisme, dan arogansi dalam berbagai bentuk. Kini sudah saatnya bagi kita semua untuk saling menjaga dan menyayangi seraya bekerjasama dalam melawan musuh yang sebenarnya, yakni para koruptor dan para setan-setan zalim yang tengah mengangkangi negeri tercinta ini. Bahagia HMI. Yakin Usaha Sampai! Tabik.