Baju Kotak-kotak: Identitas dan Pertarungan Makna
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Gagasan, Vol. 18, No. 3, Desember 2012. Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ingar-bingar Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta memang telah usai. Perhelatan demokrasi akbar lima tahunan bagi warga ibukota negara ini memunculkan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) sebagai pemenang kontestasi politik DKI Jakarta. Penulis sendiri tidak bermaksud mengulas secara luas berkaitan dengan pernak-pernik proses demokrasi tersebut. Hanya saja ada beberapa hal menarik yang ingin penulis ungkap dalam tulisan ini.
Penulis teringat pada jauh sebelum putaran pertama Pilgub DKI Jakarta digelar di mana pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Jokowi-Ahok berhasil unggul dari rival-rivalnya, hingga kemudian berlanjut ke putaran kedua yang hasil akhirnya kian mensahihkan Jokowi-Ahok sebagai jawaranya. Beberapa kolega saya di kampus saling bersapa khususnya bagi pengguna baju kotak-kotak, dengan berujar, “Wah, Jokowi banget bajunya!.” Begitu pula dengan pengalaman saudara saya di mana ia memang kerap memakai baju kotak-kotak sejak dahulu pun mengisahkan bahwa di jalan ia senantiasa disapa, “Pendukung Jokowi ya Mas”.
Imaji baju kotak-kotak ketika itu bahkan hingga kini seakan menjadi milik Jokowi. Baju sederhana itu menjadi branding ampuh bahkan mendadak tren di tengah masyarakat. Hal ini senada sebagaimana diungkapkan Umberto Eco (1976) bahwa pakaian merupakan alat semiotik, mesin komunikasi. Maka tak heran dalam apapun konteksnya, pada masa itu para penggawa pengusung Jokowi senantiasa menggunakan identitas kandidatnya, yakni “baju kotak-kotak”. Mulai dari massa pendukung, Ketua Umum Partai, Ketua Dewan Pertimbangan Partai hingga para nasumber ataupun perwakilan tim sukses pengusung yang diundang berbicara pada berbagai forum dialog baik on air maupun off air, pun tak lupa berbaju kotak-kotak ria.
Oleh karena itu, tak pelak lagi bahwa baju kotak-kotak sebagai identitas Jokowi-Ahok telah menyusup dan melintas ke segenap ranah dan ruang. Bahkan baju kotak-kotak tersebut menjadi alat identifikasi termudah untuk mengenali para pendukung Jokowi. Arthur Asa Berger dalam Signs in Contemporary Culture (1988) mengatakan bahwa pakaian, model rambut dan seterusnya adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan suatu identitas. Makanya tak heran, apabila di masa itu ada pihak-pihak yang tak bertanggung jawab menggunakan baju tersebut sebagai moda black campaign guna menjatuhkan sang kandidat melalui serangkaian aksi propaganda yang dilakukannya.
Artefak Kehidupan
Menilik perjalanan sejarah fashion, sejarahnya kini telah berkembang tidak hanya sekadar sebagai pelindung tubuh dan penghangat badan. Baju kini menjadi sebuah ruang konstruksi sosial mengenai apapun mulai dari status sosial, ekspresi, pekerjaan, kelas sosial, jabatan, hingga urusan prestise. Baju sesungguhnya mengartikulasikan sebentuk pesan non verbal yang ingin disampaikan. Sehingga tak salah apabila ada lontaran kalimat termashur “aku berbicara melalui pakaianku” (I speak through my clothes).
Baju pun turut merekam semangat dan fungsi diri. Baju tidak lagi hanya sekadar pajangan budaya, melainkan larut pula dalam wacana afiliasi politik, praktik sosial hingga fasih menuturkan identitas nasional dan kultural dari sebuah bangsa. Baju ibarat suatu kulit sosial dan budaya kita yang melekat menghiasi dan menutupi tubuh. Bahkan baju telah berubah menjadi bahasa. Ia menjadi penanda kode-kode yang dapat dimaknai dan dibaca dalam sebuah domain konteks sosial. Baju pun mahir menjadi alat pembeda terhadap suatu candraan. Ia mampu bercerita mengenai agama, kritik, propaganda hingga jiwa zaman (zeitgeist).
Baju kotak-kotak yang dikenakan Jokowi, menjadi suatu wahana pertarungan makna di tengah berbagai artibut yang diluncurkan para kompetitornya. Hal ini senada sebagaimana diutarakan Douglas Kellner dalam bukunya Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern (1995), di mana pertarungan politik sebagian dimainkan dalam “perang fashion” semisal dalam pemilu dan debat politik.
Hanya saja dalam proses dialektika dan pergulatan yang ada, “kemenangan” baju kotak-kotak ala Jokowi sebagai identitas dirinya dan tim pengusungnya telah menyusup ke dalam relung kesadaran setiap orang yang melihatnya. Baju kotak-kotak pun menjadi suatu ikonik dan ia meluruh menjadi komunikasi artifaktual yang menandai baju sebagai artefak kehidupan. Oleh karena itu, tak salah apabila Malcolm Barnard (2002) mengungkapkan bahwa pakaian pun dapat membawa kita ke dalam ranah ideologi dan politik.
Bukan yang Pertama
Sejatinya penggunaan fashion sebagai identitas bukanlah kali pertama digunakan Jokowi. Sebelumnya dalam kampanye pemilihan Walikota Solo periode jabatan kedua, Jokowi pun memainkan strategi “perang fashion” ini. Ketika itu, pasangan incumbent, Jokowi-Rudy (Jody) menggunakan baju batik dengan motif godhong kates (daun pepaya) yang berwana cerah dengan rona-rona hijau, kuning dan jingga berpadu dengan serasi. Jokowi sendiri ketika itu sempat menuturkan filosofi dari baju identitasnya tersebut di mana ia mengurai bahwa godhong kates sudah sejak zaman dulu dikenal sebagai bahan baku jamu yang pahit namun menyehatkan di mana mampu memberi efek kesehatan luar biasa. Filosofi inilah yang diharapkan Jokowi akan mendarah daging dan menyatu dalam gaya pemerintahannya bersama wakilnya, FX Hadi Rudyatmo (Rudy).
Sukses baju kotak-kotak pun menginspirasi berbagai terobosan kreatif lainnya. Tak heran, boneka dan gantungan kunci bermotif kotak-kotak pun tercipta dengan pamrih mampu menduplikasi kesuksesan baju kotak-kotak. Rupa-rupa merchandise ini pun dijual untuk menggalang dana guna mencukupi biaya operasional kampanye pasangan Jokowi-Ahok. Selain menambang bagi pemasukan dana kampanye. Penjualan merchandise itu sendiri sekaligus guna menampik tudingan membagi-bagikan uang atau politik uang (money politics) apabila dibagi secara gratis.
Boneka kotak-kotak tersebut memang dapat dikatakan sepintas mirip bahkan identik dengan Jokowi-Ahok di mana figurisasi boneka tersebut lengkap dengan kacamata ala Ahok dan rambut pendek khas Jokowi ditambah berkemeja kotak-kotak. Walaupun berpamrih untuk menggalang dana kampanye. Namun ide kreatif ini patut mendapatkan apresiasi positif karena dalam banyak kasus, kandidat malah kerap membagi-bagikan kaos, barang dan sebagainya yang identik dengan menghambur-hamburkan uang. Selain itu, ikhtiar yang dilakukan Jokowi-Ahok ini, yang jelas sudah turut memainkan peranan pula dalam menggenjot serta memberdayakan ekonomi rakyat. Karena produksi dari boneka kotak-kotak tersebut melibatkan pelaku usaha khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) baik di wilayah Solo dan Jakarta.
Tak dapat dimungkiri, nama Jokowi saat ini benar-benar meroket bak meteor di langit. Bahkan kalau diibaratkan Jokowi merupakan properti paling hangat serta paling seksi. Dalam kalkulasi maupun praktik politik, keampuhan Jokowi pun terbukti kebenarannya. Mulai dari dua kali kepemimpinannya di Kota Solo di mana grafiknya terus meningkat sampai pada fakta sahih terbaru belum lama ini, di mana ia terpilih menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta dengan berhasil menjungkalkan incumbent yang notabenenya bergelimang gelontoran dana.
Menilik dari caranya yang tetap berusaha untuk senantiasa ingat dalam memberdayakan ekonomi rakyat walau dalam suasana dan kesempatan apapun. Sekali lagi, ini adalah pelajaran bagi para pejabat untuk mampu memberikan komitmen berupa bukti bukan janji. Bukti untuk selalu memprioritaskan rakyat. Karena bukti, meminjam istilah Sun Tzu dalam The Art of War (1971) adalah politik terbaik. Dan akhirnya, terlepas dari berbagai faktor pendukung kesuksesan Jokowi-Ahok kemarin. Baju kotak-kotak pun terbukti turut memainkan peranan penting dalam hiruk-pikuk Pilgub ibukota yang baru saja usai. Tabik.