Konstruksi Media dan Negara Maskulin

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Majalah Bhinneka, Edisi Desember 2012, hal. 21-26.

Kalau kita mau jujur, perempuan sudah sedari dulu sesungguhnya tidak hanya menjadi pelengkap an sich melainkan menjadi unsur utama dari sebuah bangsa itu sendiri. Peradaban masa lalu menempatkan perempuan di ranah yang terhormat melalui penyebutan Dewi. Dewi kerap dikaitkan dengan makna pengetahuan dan berbagai makna kebaikan bahkan budaya Timur Tengah Mesopotamia masa Neolitik mengutamakan The Mother Goddess (Dewi Ibu).

Namun seiring waktu berjalan makna perempuan semakin bergeser. Tatanan kehidupan kian mengukuhkan dominasi maskulinitas. Perempuan kerap ditempatkan sebagai the second human being (manusia kelas kedua) setelah laki-laki. Di Indonesia, fenomena yang terjadi seakan mengafirmasi bahwa perempuan merupakan sekadar pelengkap kaum laki-laki. Kondisi tersubordinasi, termarjinalkan, terkena tindak kekerasan, stereotipe serta beban ganda merupakan sekelumit gambaran perempuan Indonesia. Perempuan kerap tersubordinasi baik secara laku praktik sosial maupun kultural. Henrietta L. Moore (1989) dan Nawal El Saadawi (2003) pernah mengungkapkan bahwa perempuan sebagai kategori sosial tidaklah universal, tetapi adalah universal bahwa perempuan mengalami banyak ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin.

. . . . . . . . . . .

Baca lengkap di: http://issuu.com/bhinneka/docs/bhinneka_edisi_014-perempuan_pemimpin__des_2012-we