Menyelamatkan Bahasa Jawa
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Harian Joglosemar, 19 November 2012.
Menyibak bahasa, memunculkan sebuah realitas bahwa bahasa tak bisa dianggap enteng apalagi remeh. Karena sejatinya dengan bahasa itulah kita mengada. Dalam sebuah praktik bertukar informasi ataupun berkomunikasi bahasa memainkan peranan penting. Bahasa mampu mengisahkan sebuah bangsa berikut perjalanan zaman, identitas serta budaya di mana ia tak lagi menjadi sekadar alat komunikasi belaka.
Bahasa mahir bermetamorfosis menjadi sebentuk kuasa, rekayasa, propaganda, legitimasi, pengaruh, hegemoni, kritik sosial, media dominasi, media perlawanan serta wahana pembangkangan sosial. Singkat kata, membincang dan menyelami bahasa sudah tentu menjadi diskursus menarik dan segenap gemerlap rona-rona yang memikat, menyilaukan bahkan mengagetkan.
Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang dimiliki tanah air yang bersemboyan bhinneka tunggal ika ini. Merujuk pada Solopos.com (2011), tidak main-main setidaknya tercatat ada 47 varian dialek bahasa Jawa dengan jumlah petutur bahasa Jawa menembus 85 juta orang di mana mereka banyak tinggal di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Papua serta beberapa pulau lainnya.
Beberapa tahun yang lalu hasil jajak pendapat Kompas, 18 September 2006, menemukan fakta bahwa masyarakat di Jawa Tengah merasa bangga sehingga masih aktif bertutur bahasa Jawa sebagai wahana komunikasi sehari-hari. Namun bagaiman dengan realitas hari ini, apakah memang benar demikian? Ditambah seiring waktu berjalan gerusan zaman dan globalisasi meminjam istilah Anthony Giddens (2002) benar-benar telah merasuk ke jantung kehidupan kita sehari-hari.
Bahasa Jawa pun diagungkan, diamini dan coba digagas rutin lima tahunan melalui Kongres Bahasa Jawa. Di mana tercatat sudah kali kelima hajatan besar itu digelar sejak awal mulai pada kongres pertama tahun 1991 di Semarang hingga kongres kelima 2011 lalu di Surabaya.
Wahana ini menjadi penting apabila dilihat dari konteks makna dan maksud sejatinya. Namun tak jarang pula berbagai kritikan tajam dialamatkan baginya. Ki Enthus Susmono (Kedaulatan Rakyat, 1 Oktober 2006), pernah melontarkan bahwa forum yang harusnya mampu melahirkan suatu dokumen memorandum yang aplikatif dan sustainable untuk bahasa Jawa hanya kerap berakhir seperti resepsi jagongan semata yang menghambur-hamburkan uang rakyat. Ia menilai bahwa problem utama praktik pengajaran bahasa Jawa adalah karena “Terlalu di awang-awang, enggak membumi”. Belum lagi, praktiknya yang tidak luwes di mana pakem yang ada ketika bergulat belajar bahasa Jawa seakan harus bisa karma inggil sehingga minat generasi muda kian turun dan semakin sedikit mau mempelajarinya secara serius.
Keresahan Enthus ini menemukan afirmasinya sebagaimana dituturkan Kasiyani, seorang pakar bahasa Jawa pada Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V. Ia menengarai bahwa wedi kleru atau takut salah dalam menerapkan tata tutur bahasa Jawa menyebabkan banyak orang Jawa memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi pelajaran Bahasa Jawa menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar siswa. George Quinn, seorang peneliti bahasa Jawa pun menyampaikan realitas bahasa Jawa yang menyulitkan para penutur bahasa Jawa sebenarnya ”hasil karya” orang-orang Jawa itu sendiri. Menurutnya, orang Jawa sendiri yang membuat pembelajaran bahasa Jawa secara formal di sekolah maupun di masyarakat umum menjadi sesuatu yang sulit dan menakutkan bagi anak-anak dan remaja (Solopos.com, 2011).
Seiring berjalan tentu kita seharusnya patut bergembira di mana pemerintah di beberapa daerah semisal DIY, Karanganyar dan sebagainya mulai menggunakan bahasa Jawa dalam laku upacara, muatan lokal serta wahana komunikasi di hari-hari tertentu. Belum lagi peran beberapa koran lokal yang turut menjaga bahasa Jawa dengan berbagai sajian rubriknya.
Kita harus merasa miris, karena berdasarkan penelitian lembaga internasional yang bergerak dalam bidang kebudayaan, United Nation Education Society and Cultural Organization (UNESCO) dinyatakan bahwa setiap tahun ada bahasa daerah yang hilang. Di Indonesia, studi Stephen A. Wurn (2001) yang terhimpun dalam Atlas of The World’s Languages in Danger of Disappearing mengungkapkan berbagai fakta kepunahan bahasa daerah di negeri ini.
Oleh karena itu, ikhtiar pelestarian bahasa Jawa melalui penggunaan bahasa Jawa yang dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari minimal dalam komunikasi keluarga serta perubahan desain kurikulum untuk pengajaran bahasa Jawa yang menarik serta mudah diterapkan patut diupayakan. Sehingga ke depan kita tentu boleh berharap di mana bahasa Jawa kian mampu menjadi acuan sumber kearifan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bukankah peribahasa pernah bertutur “alah bisa karena biasa”. Tabik.
Lihat pula: http://cetak.joglosemar.co/berita/menyelamatkan-bahasa-jawa-107283.html