Masihkah Mereka Pahlawan?

Resensi oleh Priondono. Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat

 

Apakah mereka masih dikatakan sebagai pahlawan? Begitulah Eka menandai beberapa pahlawan Indonesia yang diragukan idealismenya. Tulisan kritis ini hadir setelah menelaah kondisi kekinian. Eka menuliskan terdapat 7 pahlawan nasional yang perlu dikritisi kekuatannya untuk dijadikan sebagai seorang pahlawan. Memang pahlawan akan menjadi sebuah telaah baru saat ini. Di mana memang akan menjadi masalah bagaimana pahlawan itu muncul. Persoalan kriteria pahlawan cukup mudah dengan menempatkan perampok di pihak Belanda sentris diganti menjadi pahlawan di mata Indonesia sentris.

Bagaimana Sumatera Barat, atau Indonesia menganggap Imam Bonjol sebagai pahlawan muslim yang melawan Belanda jika kiranya tangan berlumuran dengan darah rakyat. Dalam sebuah petisi yang ditulis Mudy Situmorang kepada pemerintah Indonesia. Imam Bonjol telah melakukan sebuah pemusnahan massal yang menghabiskan jiwa manusia dalam jumlah besar dalam kurun waktu (1813-1833). Pasukan Paderi dalam wewenang Imam Bonjol telah melakukan invansi kejam terhadap keluarga Kerajaan Pararuyung dan Masyarakat Mandailing serta rajanya Sisingamangaraja X (Sumatera Utara) di zamannya. Paham Wahabi yang  ia bawa membawa sebuah misi untuk pembersihan ajaran mistis non Islam di Sumatera Barat. Hasilnya puluhan ribu melayang sebagai korban perang yang akan dikenang sampai saat ini.

Tidak cukup dengan Imam Bonjol, sosok kepahlawan dari Sultan Agung Kerajaan Mataram pun kian dipertanyakan. Kekuasaan Kerajaan Mataram di masanya memang telah membangun Mataram dalam puncak kejayaan. Dalam kekuasaan yang  ia lakukan, Sultan Agung mendedikasikan diri sebagai raja kolonial lokal yang akan menguasai seluruh pulau Jawa. Bahkan wilayah luar pulau Jawa pun tunduk dengan mengirim upeti kepada Raja Mataram tersebut. Nilai-nilai kepahlawan dalam diri Sultan Agung Mataram kian ditanyakan karena cara dan sikap dari Raja Mataram ini. Ekspansi politik yang dilakukannya bukan menyatukan diri dalam melawan Kolonial VOC di Batavia namun untuk ekspansi perluasaan dilakukan dalam ranah Jawanisasi.

Perlawanan dalam melakukan luasan kawasan ia lakukan dengan gagah berani, satu per satu wilayah tunduk. Ekspansi terhenti kala melakukan perlawanan dari Batavia yakni VOC. Kerajaan maritim Mataram dalam melawan VOC selalu terhenti, dan kalah. Maka Raja Mataram ini lantas melakukan hukuman dengan membunuh para panglima perang yang gagal dalam melakukan ekspansi salah satunya Adipati Rangga Gempol. Kekalahan Mataram telah membuat Sultan terus melakukan peperangan, akhirnya memberikan dampak pada kematian Sultan sendiri. Cara Sultan dalam melakukan ekspansi atas nama Jawanisasi patut ditanyakan sebagai pahlawan nasional. Gebrakan dalam melawan VOC itu benar, namun niat yang dilakukan sang Sultan kini dipertanyakan.

Buku ini menarik untuk melakukan sebuah analisis kritis dalam menyandang sebuah nilai pahlawan. Nilai kepantasan kini dipertanyakan juga sampai saat ini. Seperti gelar pahlawan untuk presiden negeri ini Soeharto, dan Gus Dur. Faktor kelayakan memang kerap menjadi pertimbangan. Semoga buku ini menjadi penarik hati yang menarik bagi kalangan akademisi yang kritis.

Lihat pula: http://priedn.blogspot.com/2012/06/resensi-masihkan-mereka-pahlawan.html