Kaulah Idolaku…

Siapa yang tak punya idola? Hampir setiap orang pasti memiliki idola. Mungkin kita mengidolakan seseorang karena orang itu tampan, menarik, gagah, pandai, atau mungkin juga karena menginspirasi kita.

Sosok idola bisa bermacam-macam, mulai dari nabi, tokoh agama, pahlawan, selebritis, grup band, atau bisa jadi orang tua kita sendiri. Setiap orang memiliki definisinya masing-masing mengenai apa itu idola. Ada yang mengartikan idola sebagai sosok yang dikagumi, menginspirasi, atau bahkan menjadi panutan dalam gaya hidup kita.

Berdasarkan teori psikologi, manusia terbagi dalam empat masa perkembangan, yakni anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Sebagai mahasiswa yang masih berada dalam kategori remaja, mereka membutuhkan figur example. Idola atau figur example memiliki peran tersendiri dalam kehidupan. Terkadang, sadar ataupun tidak, kita berusaha meniru sosok yang menjadi idola.

“Kerap kali proses mencontoh atau imitasi merupakan salah satu proses yang dilakukan terhadap seorang sosok figur sebagai cara pencarian jati diri bagi masa ini,” tutur Arista Adi Nugroho, dosen Psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS). Lebih lanjut Arista menambahkan, dalam prosesnya, figur example ini bisa menjadi figur attachment. Artinya, tokoh idola dapat menjadi sosok yang menginspirasi seseorang dalam hidupnya.

Hal senada juga diutarakan Eka Nada Shofa, dosen matakuliah Psikologi Komunikasi UNS. Menurut dia, tokoh yang menjadi inspirasi atau menjadi idola mahasiswa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan motivasi yang bersifat positif. Dikatakan, siapapun sosok yang diidolakan harus memberi efek positif bagi mahasiswa.

Mahasiswa harus cermat dalam memilih idola karena ketika kita mengidolakan seseorang akan muncul identifikasi dalam diri kita. Dalam proses identifikasi diri ini, orang akan meniru gerak-gerik tokoh tersebut. “Meski demikian, tidak semua orang pasti mengikuti semua yang dilakukan idolanya karena tidak sesederhana itu untuk melakukan imitasi. Butuh proses yang panjang. Dan sebelum mencapai taraf itu biasanya manusia telah memiliki basic instinct untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul,” tambah Eka ketika ditemu di sela-sela aktivitasnya, Senin (4/6).

Ketika kita mengidolakan seseorang, tentu naluri manusia tergerak untuk meniru hal yang baik saja dan menghindari hal-hal yang dapat melukai atau menyakiti diri kita. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Eka Nada. Menurutnya, Nurcholish Majid adalah tokoh yang benar-benar menginspirasinya. Nurcholish Majid mempengaruhi pola pikirnya mengenai paradigma ke-Islaman yang modern. Namun demikian, diakuinya, dia tidak bisa menjadi Nurcholish Majid dengan segala kelemahan dan kelebihannya. Karena dia menyadari bahwa antara dia dengan Nurcholish memiliki perbedaan masing-masing.

Dampak Negatif
Tokoh idola, misalnya, dimiliki Masni Indrawati, mahasiswi Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Madani, Balikpapan. Mahasiswi angkatan 2010 ini mengaku mengidolakan ibunya. Bagi dia, ibu adalah orang yang paling tegar, tabah, dan kuat yang pernah ditemuinya di dunia. “Mama berpengaruh sekali, karena jika tidak ada beliau maka saya juga tidak mungkin hidup di dunia dan tumbuh hingga sebesar sekarang,” akunya kepada Tim Akademia.

Pendapat berbeda diutarakan Yofita Noor Ardiani, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret. Mahasiswi ini mengidolakan Nabi Muhammmad dalam hidupnya. “Beliau adalah uswatun khasanah bagi umat Islam. Sifat-sifat baik beliau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nabi Muhammad bisa memainkan banyak peran, seperti seorang ayah, suami, panglima perang, pemimpin negara, pedagang, sekaligus pendakwah dengan sama baiknya. Nabi Muhammad adalah manusia paling sempurna di dunia,” tutur dia.

Bagi Yovita, sosok Nabi Muhammad memberikan inspirasi dan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupannya. Terutama sifat kepemimpinan yang tercermin ketika perang Khandak yang mengharuskan orang-orang menggali parit meski dalam keadaan lapar. “Beliau sampai-sampai harus menyumpalkan batu di balik jubahnya demi mengurangi rasa lapar agar tetap bisa bekerja bersama anak buahnya. Sifat seperti itulah yang seharusnya dicontoh oleh pemimpin masa kini, harus mau bersusah-payah,” tambah dia.

Seperti koin yang memiliki dua sisi, selain memberikan inspirasi, mengagumi tokoh idola bisa berkembang menjadi hal negatif. Arista Adi Nugroho menambahkan, dampak negatif dari hal itu adalah posesif dan tingkat dependensi atau ketergantungan yang tinggi. Possesif adalah di saat seseorang secara membabi buta menerima apa saja yang dilakukan sang tokoh idola. Sedangkan ketergantungan yang tinggi dapat dilihat dari sikap dan perilaku yang ditunjukkan secara berlebihan apabila tokoh idolanya melakukan sesuatu. “Termasuk ketika ada tokoh idola yang melakukan kesalahan, kita bahkan ingin mencontohnya,” kata dia.

Menanggapi hal tersebut, menurut Eka, dalam proses identifikasi diri seharusnya seseorang tetap memberi jarak pada hal-hal yang negatif dari sosok idola. “Penanaman mengenai filter diri adalah hal yang harus diperkuat agar seseorang tidak sampai terjerumus pada sikap obsesif terhadap idolanya dan memunculkan paradigma right or wrong it’s me,” terang Eka.

Di samping itu, pendekatan dari lingkungan primer seperti keluarga, kelompok sebaya, teman dekat dan lingkungan sosial menjadi hal yang harus diperhatikan. Terakhir, ditambahkan Eka, penanaman nilai keagamaan juga merupakan hal penting agar seseorang lebih bisa bijaksana dalam membuat keputusan untuk memilih idola mana yang baik untuk ditiru agar tidak sampai menimbulkan efek negatif. Tim UNS

Sumber: Joglosemar, 6 Juni 2012, hal. 21.

Lihat pula di http://www.harianjoglosemar.com/berita/kaulah-idolaku-79480.html