Menulis, Berjuang Melawan Virus

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat Joglosemar, 9 April 2012

Tidak ada yang meragukan kecendekiawanan dan kepiawaian bertutur melalui tulisan dari seseorang yang bernama Kuntowijoyo. Namun, siapa menyangka bahwa semangat menulisnya ini tetap menggelora dan tak pernah luntur, walaupun dirinya tengah dihinggapi penyakit virus meningo enchepalitis (flu berat), yang membuatnya kesulitan berbicara.

Ia memang dikenal sebagai sosok yang tidak menyerah pada penyakitnya. Idealisme pengabdian Kunto—sapaan akrabnya—bagi dunia sastra, sejarah, dan agama telah menafikan rasa takut akibat sakit yang ia derita. Ia dapat dikatakan merupakan salah satu dari sedikit sastrawan sekaligus akademisi yang mampu menyeimbangkan antara menulis sastra dan karya ilmiah sama kuatnya (Wan Anwar, 2007: vii).

Sebuah novel berjudul Khotbah di Atas Bukit melambungkan namanya di dunia sastra. Bahkan salah satu karya agungnya ini ditulis di sela-sela waktu mengajar. Cendekiawan yang lahir di Yogyakarta, 18 September 1943 juga dikenal sebagai kiai di mana ia turut mendirikan Pesantren Budi Mulya pada tahun 1980. Dan, pemahamannya yang mendalam mengenai sejarah telah mengantarkannya pada samudra kearifan yang tak terbatas.

Selama ia sakit, lebih dari 50 karya buku telah diterbitkannya dan sebagian besar memperoleh banyak penghargaan. Kita ambil contoh, buku Dilarang Mencintai Bunga-Bunga berhasil mendapatkan penghargaan sastra dari Pusat Bahasa di tahun 1994. Cerpen Lelaki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996) dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997) mendapatkan penghargaan sebagai cerpen terbaik versi harian Kompas tiga tahun berturut-turut. Kemudian kembali melalui cerpen Mantra Pejinak Ular pada tahun 2001, intelektual muslim ini juga ditetapkan sebagai pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mantera).

Selain itu, ia juga berhasil menelurkan karya-karya nonfiksi yang sukses. Antara lain: Radikalisme Petani (1993), Metodologi Sejarah (1994), Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia (1994), Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Identitas Politik Umat Islam (1997), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1999), Islam Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik (2002), Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (2004).

Dalam perjalanan hidupnya, Kunto belajar menulis semenjak kecil hingga dewasa. Berkat kegigihannya ini, novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari berhasil diterbitkan di harian Jihad sebagai cerita bersambung. Dalam keseharian, Kunto melakukan aktivitas menulisnya secara rutin. Ia biasa bangun pukul 03.30 WIB untuk beribadah dan kemudian menulis hingga hampir subuh. Selepas salat subuh ia kembali menulis atau sekadar berjalan-jalan pagi setelah itu kembali menulis hingga siang hari. Saat siang menjelang ia tidur hingga sore hari dan kembali menulis hingga tengah malam. Dan begitu seterusnya. Satu hal lagi, kemana pun ia pergi, akan selalu ada buku catatan bersamanya (Latifah US, 2007; Wan Anwar, 2007).

Pelajaran yang dapat diambil dari sosok Kuntowijoyo adalah kegigihannya untuk terus berkarya dan berjuang walau dalam kondisi sakit sekalipun. Baginya sakit dan kondisi yang sulit bukan menjadi alasan untuk tidak terus berkarya. Menurutnya menulis merupakan bentuk perjuangannya melawan penyakit virus yang dideritanya sebagai wujud sosial profetik yang dapat ia lakukan. Perlu diketahui bahkan menjelang kepergiannya pun, Kunto masih sempat menulis karangannya yang berjudul Mengalami Sejarah. Sehingga dapat dikatakan ia nyaris tidak berhenti menggoreskan penanya.

Akhirnya, pada 22 Februari 2005 lalu, sastrawan, cendekiawan sekaligus agamawan ini menghembuskan nafas terakhirnya. Selepas kepergiannya, buku berharga peninggalannya pun menyusul diterbitkan yakni Historical Experience (Mengalami Sejarah) dan Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Melihat segenap perjalanan Kuntowojoyo, sungguh merupakan suatu pengalaman yang sangat inspiratif bagi generasi muda saat ini untuk tidak mudah patah arang dalam menghadapi segenap tantangan kehidupan yang ada sehingga tidak menjadikan kondisi sesulit apapun itu sebagai alasan untuk malas berkarya. Mengutip pesan George Washington Carver, bukankah 99 persen kegagalan itu adalah buah dari kebiasaan mencari-cari alasan? Tabik.

Lihat pula di www.harianjoglosemar.com