Membumihanguskan Kekerasan
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Joglosemar, 16 Januari 2012
Melihat berbagai aksi kekerasan yang kian mengemuka dan marak di negeri ini tentu meninggalkan keprihatinan yang begitu mendalam. Wahid Institute mencatat aksi kekerasan yang terjadi di tahun 2011 lalu meningkat dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 92 kasus.
Catatan ini menunjukkan, betapa kekerasan seakan menjadi sebuah jalan keluar dari segenap permasalahan yang muncul. Namun yang patut disayangkan adalah ternyata salah satu aktor kekerasan itu merupakan oknum aparat keamanan yang seharusnya berkewajiban melindungi dan mengayomi masyarakat. Sungguh sesuatu yang patut kita sesalkan bersama. Tentu saja imbas dari aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat keamanan ini tidak akan pernah dapat terbalas dengan tuntas. Korban nyawa yang melayang tentu tidak akan pernah dapat digantikan atau tergantikan oleh apapun juga. Kita ambil contoh baru-baru ini yakni kasus Bima, Nusa Tenggara Barat.
Oknum aparat keamanan berusaha mengusir para warga yang menduduki pelabuhan dengan cara brutal baik memukuli, menganiaya serta menembaki warga hingga jatuh korban. Hal ini tentu bukan sebuah pendekatan yang patut dibenarkan. Apalagi tindakan oknum aparat tersebut jelas sudah keluar dari prosedur tetap yang ada. Kita dapat melihat di layar kaca, beberapa aparat berusaha membersihkan selongsong peluru yang telah digunakan untuk menghilangkan barang bukti.
Pasca kejadian berbagai aksi solidaritas yang mengecam dan mengutuk aksi barbar aparat keamanan tersebut kian menyebar. Namun bukannya menjadi sebuah peringatan. Aksi kekerasan yang dilakukan aparat kembali terjadi belum lama ini. Sekelompok aktivis mahasiswa di Solo ketika menggelar aksi solidaritas dihajar, dipukuli habis-habisan secara brutal oleh aparat di atas truk aparat. Bahkan menurut beberapa sumber, aparat tersebut bahkan turut mengumpat dan bersumpah serapah dengan kata-kata yang seyogianya tidak layak untuk diucapkan.
Apa yang ditampilkan oknum aparat tersebut merujuk pada terminologi Louis Althusser dalam Essays on Ideology (1984) merupakan bentuk repressive apparatus state. Namun, lebih daripada itu, Jamil Salmi dalam bukunya Violence and Democratic Society (1993) mengutarakan bahwa apa yang dilakukan oknum aparat keamanan tersebut bukan lagi taraf menindas (repressive violence) melainkan sudah merupakan bentuk kekerasan langsung (direct violence). Salmi menilai wajah kekerasan langsung tersebut begitu menyeramkan dan mengerikan bahkan serupa dengan aksi barbar.
Aksi yang dilakukan oknum aparat ini tentu saja harus kita tolak (say no to violence). Fakta-fakta tersebut kini kian menorehkan cerita kelam akan bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam hal ini adalah polisi. Dimana polisi seharusnya menjadi pengayom masyarakat dengan senantiasa mengedepankan sikap santun dan humanis bukan malah menjadi brutal serta barbar sebagaimana peran yang dilakukan di beberapa kasus di atas. Tentunya kita semua amat menyayangkan apabila hal ini terus dan terus terjadi kembali.
Mengutuk dan mengecam keras aksi barbar itu tentu harus kita lakukan namun yang lebih utama adalah penyelesaian kasus-kasus tersebut secara tuntas mulai dari pengusutan hingga menindak secara tegas oknum-oknum yang bertanggungjawab atas terjadinya insiden tersebut. Penulis sendiri mengajak kepada semua pihak untuk menghilangkan segala bentuk kekerasan yang tentunya malah akan mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Masyarakat tentu merindukan aparat keamanan yang betul-betul menjadi pembela dan penegak keadilan bagi setiap masyarakat tanpa kecuali. Aparat yang menjadi pelindung dan pengayom masyarakat serta hanya tunduk pada kebenaran. Masyarakat tentu tidak menghendaki aparat yang arogan dan membela kepentingan para pemodal yang tidak pernah memikirkan nasib rakyat kecil sebagaimana logika ekonomi kapitalis.
Kerja keras terus menerus untuk melawan berbagai bentuk kekerasan atas dasar apapun baik itu suku, ras, agama, etnis dan sebagainya tentu menjadi tantangan yang tidak akan pernah berakhir (the end does not justify the means). Tentu kita bersama tidak menginginkan aksi kekerasan terkutuk semisal yang terjadi pada saudara kita warga Syiah di Sampang kembali terulang.
Oleh karena itu, kekerasan harus kita bumi hanguskan bersama-sama. Upaya-upaya ini harus terus digalang baik dari kalangan organisasi non pemerintah, asosiasi-asosiasi, media massa, mahasiswa serta seluruh elemen masyarakat. Tentu kita dapat belajar mengenai pesan serta semangat ini dari para inspirator besar semisal Mahatma Gandhi atau Martin Luther King Jr. yang telah mengajarkan solidaritas, cinta dan kasih sayang. Salam Perjuangan, Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat, Hidup Bangsa Indonesia!!!