Kampus Kehidupan
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Solopos, 16 September 2011
Bakda zhuhur siang itu seakan menjadi saksi bisu dari kerianganku. Betapa tidak, aku diterima di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Belanda. “Alhamdulillah, aplikasi kuliah dan beasiswa doktoralku dikabulkan,” pekikku dalam hati. Akan tetapi, kegembiraan hati itu mendadak lenyap manakala aku mengingat istriku, Hannah. Ya, sudah sejak lama ia seakan tidak masuk dalam lingkar prioritasku. Sungguh bukan maksud hati demikian akan tetapi realitaslah yang memaksaku bertindak seperti itu.
Masih segar dalam ingatan dimana sekitar dua tahun lalu, aku telah meninggalkannya seorang diri. Saat itu ia berjuang sendiri membesarkan buah hati kami, Aksa. Terhitung, aku mulai meninggalkannya kala Aksa masih dalam kandungan. Begitu pun saat melahirkan aku tidak dapat mendampinginya.
Di kota ini, kami tidak memiliki keluarga. Setelah menikah, kami berdua hidup merantau dan mengadu nasib menghadapi kerasnya dunia. Tapi aku bersyukur, Hannah, mempunyai sahabat karib, Khadijah, yang senantiasa rela dimintai pertolongan. Kebetulan Khadijah adalah istri dari seorang sahabatku, Rahman. Lokasi Rahman bekerja tidak jauh yakni hanya di kota tetangga sementara aku harus rela berpindah-pindah karena pekerjaanku adalah seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat.
Hannah memang seorang istri yang taat dan sholehah. Sama sepertiku, ia pun mengenyam pendidikan tinggi bahkan lulusan terbaik sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Namun, ia rela menikah denganku seorang lelaki miskin dan sederhana. Aku mengenalnya saat menjadi fasilitator di sebuah desa di Yogyakarta.
Singkat kata, kami sama-sama jatuh hati dan tak lama kemudian mengikrarkan janji setia sebagai suami dan istri. Walaupun ia pernah mengatakan bahwa ia memahami pekerjaanku namun sebagai seorang manusia dan suami tentu aku merasa sangat bersedih karena tidak dapat selalu berada di sampingnya. Bahkan saat ia melahirkan Aksa!.
Aku terperanjat dan mulai tersadar saat adzan ashar mulai berkumandang. Tidak terasa aku berkontemplasi demikian lama. Aku tidak tega mengatakan bahwa aku ingin melanjutkan sekolah dengan mengambil peluang tersebut. “Apa yang harus aku katakan ya Allah,” lirihku dalam hati.
Apakah aku harus meninggalkannya lagi untuk kesekian kali setelah dua tahun lalu aku meninggalkannya untuk sekolah masterku di Jepang? Bagaimana dengan perkembangan Aksa nantinya? Bagaimana pula perasaan hati istriku? Beragam pertanyaan seakan menghampiri tidak hanya kepada akal namun juga kepada hatiku. Aku merasakan perang batin tengah berkecamuk di dalam dadaku. “Ya Allah, bantulah hambamu ini,” pintaku.
Tak ingin larut dalam perang batin tersebut, aku bergegas menuju ke masjid terdekat dan mengambil air wudhu untuk shalat berjamaah. Selesai shalat tak lupa aku panjatkan doa. Memohon agar diberi petunjuk bagaimana jalan keluar yang terbaik. Sejurus kemudian, aku segera meluncur menuju rumah kami di daerah Karanganyar. Aku sudah membulatkan tekad akan menyampaikan perihal ini. Namun aku tetap menyerahkan semuanya kepada istriku, apapun jawabannya. Aku ikhlas apabila ia melarangku. Lagi pula sudah seringkali aku meninggalkannya baik itu demi tugas, pekerjaan ataupun sekolah.
Aku tidak punya alasan lagi untuk kembali pergi. Walaupun sesungguhnya, aku sudah bertekad akan mencari pekerjaan lain agar aku punya lebih banyak waktu bersama istri dan anakku. Dimana aku bercita-cita menjadi seorang pengajar dan akan mencoba melamar di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Solo. Tak jauh dari tempat kami tinggal. “Assalamu’alaikum,” ujarku sembari mengetuk pintu rumah. “Waalaikumsalam warahmatullah,” sahut Hannah dari balik pintu.
“Eh mas, sudah pulang, bagaimana tadi ada informasi apa? Sepertinya penting sekali tiba-tiba diminta Pak Harso untuk mengambil surat di kantor. Belum sempat aku menjawab, Hannah telah menyuguhkan secangkir kopi favoritku di meja. Sungguh aku semakin tidak kuasa menjawab pertanyaannya.
Pak Harso adalah kepala lembaga di kantor tempatku bekerja di Yogyakarta. Namun karena aku berada pada divisi pemberdayaan masyarakat maka tugasku berkeliling dari daerah satu ke daerah lain. Dari sabang sampai merauke dimana hampir semua daerah pernah aku singgahi.
Aku menyeruput kopi hangat di hadapanku. “Sungguh nikmat kopi buatan istriku ini,” batinku sembari tersenyum. Namun rona wajah ini seakan tidak sanggup menyembunyikan kegalauan. Hannah pun kembali bertanya, “Mas Ahsan kok nggak jawab sih?” ungkapnya mencari jawaban. Entah mengapa lidahku terasa kelu dan tidak mampu berkata. Bagaikan terkunci sebuah gembok besar.
Tak ingin membuatnya sedih dan menanti lagi. Akhirnya dengan sisa keberanian yang ada, aku sampaikan informasi itu apa adanya. Ia tidak langsung bereaksi. Ia mematung dan diam seribu bahasa. Dari wajahnya terlihat ada sesuatu yang berkecamuk dalam dadanya.
Aku berpikir mungkin istriku sudah tak sanggup lagi menahan berbagai “cobaan” selama ini. Namun, ternyata sontak ia mengucapkan, “Alhamdulillah, selamat ya mas,” ucapnya gembira. Aku merasa aneh mengapa ia malah senang. Belum sempat aku berkata.
Ia pun segera berujar, “Diambil saja mas, karena kesempatan itu jarang datang dua kali,”. “Semoga nanti setelah lulus mas bisa menerapkan ilmu sesuai dengan cita-cita mas sejak kecil,” ungkapnya.
“Aku heran dari mana ia tahu akan impianku sejak kecil?” Mengapa semudah itu ia ingin agar aku meneruskan sekolah dan yang pasti akan kembali meninggalkannya?” batinku. Seakan mendengar suara hatiku, ia mengatakan bahwa ia ikhlas kalau harus ditinggalkan lagi olehku guna meneruskan sekolah di negeri kincir angin dan keju tersebut. “Mas Ahsan, cinta tidak akan menghalangi seseorang untuk meraih takdirnya,” tuturnya dengan mantap.
Ia berjanji akan menjaga semua kepercayaan seperti yang telah ia tunjukkan selama ini. Ia melanjutkan bahwa cinta itu adalah proses “menjadi” bukan hanya sekedar “memiliki”, inilah makna kampus kehidupan sejatinya. Alhamdulillah terima kasih ya Allah. Kami pun berpelukan penuh haru. Tak lama, terdengar tangisan Aksa laksana memanggil kami berdua. Tabik.