Aku akan menalak Istriku
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Solopos, 4 Februari 2011
Hari ini hari Minggu. Tapi aku sungguh tidak mengerti mengapa hari ini terasa begitu hampa. Ada sebuah rongga kosong bersemayam dalam dadaku. “Oh, ternyata ini sebab munculnya kehampaan,’ begitu pikirku dalam hati.
Rongga besar yang sejak setahun lalu coba aku tutup atas nama cinta dan kasih sayang. Namun kini seakan terbuka kembali seiring dengan sepoi angin yang menemani renunganku. Angin seakan ingin bertanya, “Ada apakah gerangan wahai pemuda?”
Tak mendapat jawaban dariku, sang angin pun berlalu, lalu muncul sepasang burung gereja yang tengah bercanda riang gembira namun mendadak terdiam manakala melihatku termenung dengan raut wajah penuh guratan dan rona yang tidak cerah.
Selepas salat Subuh tadi, aku memacu mobilku dengan kencang menuju ke arah Tawangmangu. Kini aku berada di tepian sebuah tebing. Tempat favoritku semenjak kecil untuk berkontemplasi, merenung ataupun mengurangi kepenatan tatkala aku didera permasalahan.
Tidak ada yang tahu tempat ini kecuali aku. Bahkan istriku pun tidak tahu. Saat pergi tadi aku sengaja tidak membangunkannya bukan karena kasihan namun itu merupakan sebentuk keenggananku.
Hari ini tepat setahun kami membina bahtera rumah tangga, kami belum memiliki anak karena memang kami menunda untuk itu. Tiba-tiba perasaanku mulai galau. Ada rasa yang seakan ingin meledak, ingin berteriak akan sebuah penyesalan bahwa aku tidak bisa membuat istriku berjalan dalam rel sesuai tuntunan agama.
Sebelum menikah, aku selalu menginginkan agar istriku kelak memakai jilbab.
“Kalau sudah menikah nanti pakai jilbab ya sayang?”
“Iya insyaallah Mas.”
Kenangku mengenai percakapan yang pernah kami lalui jauh sebelum kami menikah. Kini ia telah menjadi istriku namun sampai hari ini setidaknya subuh tadi ia belum menunaikan janjinya.
Sejak kecil aku dididik menjadi seorang yang keras dalam bersikap tapi entah kenapa menjadi lunak ketika menghadapi istriku.
Renunganku buyar seketika begitu handphoneku berbunyi, “Hah, istriku yang menelpon. Mungkin ia bingung manakala bangun tadi aku sudah tidak di rumah,” gumamku. Tapi panggilan itu tak kuhiraukan, handphone lalu aku silent.
Sejenakku menghela nafas seraya memandangi hamparan langit biru nan indah dengan awan yang mempercantiknya. “Sungguh indah maha karyamu ya Allah,” ucapku lirih.
Kulihat lagi handphoneku, terlihat ada 10 kali miscall dari istriku dan sebuah pesan singkat darinya.
“Mas Anton, lagi di mana? Kok pergi tidak bilang, aku punya kejutan untukmu sayang,” begitu bunyi pesannya tapi sekali lagi tidak aku hiraukan.
Aku malas untuk membalas apalagi menghubunginya. Aku akan pulang. Aku akan menalak istriku. Bukankah jilbab itu perintah agama. Bukanlah itu adalah janjimu sebelum menjadi istriku. Beragam pikiran itu menguatkanku untuk segera meluncur pulang ke rumah.
“Aku akan menalak istriku,” tegasku.
Aku pacu mobilku dengan cepat. Entah mengapa seakan ada yang mendesakku untuk terus menginjak pegal gas menambah kecepatan. Namun tiba-tiba ada seorang anak kecil melintas, aku langsung mencoba menghindarinya. Anak itu selamat tetapi “duuueerrrr!” mobilku menghantam sebuah pohon besar. Kulihat dari kaca spion ada darah mengalir dari dahiku. Tubuhku kaku dan tidak bisa digerakkan. Dan orang-orang terlihat menghampiriku. Setelah itu pandanganku menjadi kabur, semakin kabur dan gelap.
Tiba-tiba muncul kelebatan seperti cahaya. Muncul sesosok bayangan Kyai Harun, guru mengajiku waktu kecil. Beliau sudah kuanggap orangtuaku juga. Salah seorang yang kumintai restu manakala aku akan menikah setahun lalu. Ia kembali berpesan, “Jangan mencari yang sempurna, niscaya habis usia takkan pernah ditemukan namun berusahalah menerima yang tak sempurna dengan cara terbaik dan kesabaran niscaya hidup akan menjadi ringan,” ujarnya kepadaku. Kemudian bayangan itu lenyap entah kemana. Aku heran sekaligus bingung karena guruku tersebut telah meninggal enam bulan yang lalu.
Aku mulai membuka mata namun masih kabur. Aku mendengar suara isak tangis yang diikuti ucap suara bersyukur.
“Alhamdulillah ya Allah, terima kasih,” demikian bunyi suara-suara tersebut. Aku merasa ada yang memelukku erat. Aku tahu pasti ibuku. Aku menyapu pandangan ke sekeliling ruangan ternyata seluruh keluargaku hadir. Akhirnya aku tahu bahwa sudah sepekan aku koma di rumah sakit ini.
Namun ada sesosok perempuan di sudut yang sedang bersujud syukur dan menangis, ia mengenakan jilbab, tetapi aku tidak mengenalnya. Baru setelah kupandangi dalam-dalam ternyata ia adalah istriku, Fitriah.
“Ya Allah istriku berjilbab?” tanyaku dalam hati.
“Ya Allah ia tidak lupa janjinya, ia menunaikannya.” Istriku ternyata menunggu waktu yang tepat untuk bisa menunaikan ajaranmu dengan sepenuh hatinya bukan dengan perintahku dan paksaanku sebagai suaminya. Apalagi sekadar untuk membuatku senang. Aku bahagia karena ia melakukannya karena-Mu, pemilik cinta hakiki.
“Mas Anton sayang, ini kejutan yang ingin aku tunjukkan kepadamu sepekan lalu bahwa aku memutuskan untuk berjilbab dengan sepenuh hati,” suaranya putus, ia terisak.
“Bukan karena sekadar janjiku padamu…. Dulu aku ingin berjilbab tapi aku merasa belum mampu sepenuh hati, karenanya aku enggan dan memilih menghindar manakala kamu mulai mengungkitnya. Kini aku berjilbab karena aku cinta pada-Nya, karena aku yakin Ia yang membawamu untuk menyadarkanku menjalankan seluruh perintah-Nya,” jelasnya seraya segera menghambur ke arahku.
Aku pun hanya mampu berucap lirih, “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,” mulai saat itu aku menguatkan ikrarku bahwa aku mencintai istriku karena-Nya.