Media Sosial, Ruang Maya dan Narsisme Diri
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Harian Joglosemar, 25 Februari 2013, hal. 8
Di berbagai belahan dunia, media sosial mendadak meledak, mewabah, dan melahirkan kegandrungan luar biasa. Tidak terkecuali pula di Indonesia. Media sosial dengan segala pesonanya membius segenap khalayak penggunanya. Alvin Toffler (1980) selaku futurolog kini mungkin tersenyum karena tesisnya mengenai kehadiran masyarakat informasi yang saling terkoneksi terbukti kebenarannya. Umat manusia seperti diramalkan Toffler akan mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan mudahnya antara satu dengan lainnya dari berbagai pelosok belahan dunia manapun.
Media sosial sebagai bentuk mediamorfosis berbasis media baru (internet) kini telah meluluhlantakkan batas-batas teritorial. Ia mampu mengatasi hambatan dimensi ruang, waktu maupun birokrasi. Tak salah jika Friedman menyebut “the world is flat”. Dunia di era media baru laksana sebuah kampung “desa buana” atau dalam bahasa McLuhan dan Powers (1989) disebut sebagai global village.
Facebook, Twitter, Blog, Youtube, Myspace dan lainnya merupakan beberapa varian media sosial. Berbagai media sosial tersebut kini bahkan tengah merajai jagat khalayak dunia. Ia pun menjadi suatu ruang maya yang diakrabi masyarakat Indonesia. Kepemilikan terhadap produk perkembangan teknologi komunikasi dan informasi ini menjadi ukuran dalam laku dan praktik manusia untuk tidak dikatakan gaptek serta menasbihkan diri sebagai manusia modern.
Dr. Yanuar Nugroho yang memimpin riset kolaborasi Manchester Institute of Innovation Research (MIOIR), University of Manchester, Inggris, dan Hivos akhir 2010 tentang media sosial di Indonesia dan ASEAN menuturkan bahwa sebagai ruang maya (online) dan sebagai pasar, media sosial di Indonesia volumenya sangat besar, tumbuh dan aktif. Adapun sebagian besar pengguna memakai media sosial untuk bersosialisasi (Kompas, 17 Juni 2011).
Alexa.com (2013) mencatat bahwa pengguna media sosial di Indonesia semisal Facebook berada pada posisi kedua sebagai situs terpopuler setelah Google.com. Hal ini tentu menjadi bukti kegandrungan yang luar biasa. Selain sebagai wahana sosialisasi, media sosial sejatinya menyimpan beragam potensi hebat. Ia dapat menjadi alat propaganda, penggalang solidaritas sosial dan gerakan warga. Tentu kita ingat beberapa rentetan fakta semisal revolusi Mesir dan Tunisia hingga koin keadilan untuk Prita Mulyasari tak lepas dari peran media sosial. Dan yang menghebohkan adalah praktik penayangan Innocence of Muslims yang menuai kecaman masyarakat dunia karena mencederai nilai-nilai universal kemanusiaan, pelecehan serta penistaan terhadap agama Islam.
Selain itu, potensi hebat lainnya adalah dapat menjadi wahana pemasaran online gratis, ruang keberaksaraan baru, ruang berbagi inspirasi maupun informasi, ruang berdiskusi serta berdialektika secara sehat dan lain sebagainya. Berbagai potensi tadi sesungguhnya akan mampu menumbuhkan berbagai hal kontributif serta positif manakala kita mampu menggunakannya secara arif dan bijaksana. Sebagaimana diingatkan Nicholas Carr dalam The Shallows: How the Internet is Changing the Way We Think, Read and Remember (2010) bahwa bagaimanapun teknologi hanyalah alat sehingga dibutuhkan kearifan dalam penggunaannya sebagai cara memahami dan mengendalikan dunia. Oleh karena itu, praktik penggunaan media sosial itu sendiri adalah hakikat dan kekuatan utama dari media ini.
Narsisme Diri
Layaknya pisau bermata dua media sosial mampu menjadi instrumen penting bagi kemajuan namun di sisi lain dapat pula menghadirkan ancaman (potential threat) seperti penipuan, prostitusi online, human trafficking, cyberbullying, pencemaran nama baik, predator online dengan praktik penculikan hingga pemerkosaan dan berbagai praktik cyber crime lainnya.
Namun ada hal lain yang mungkin tidak disadari oleh para pengguna media sosial adalah hadirnya narsisme diri yang begitu berlebihan. Riset Twenge dan Campbell dalam The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement (2010) mengemukakan lahirnya media sosial semisal Facebook dan Twitter, semakin memacu seseorang untuk “memamerkan” dirinya ke seantero dunia.
Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Larry Rosen, seorang peneliti dan psikolog bahwa seseorang yang sering login ke Facebook menjadi lebih narsis. Hal ini terjadi karena seseorang mampu mencitra, menampilkan serta “mengiklankan” diri selama 24 jam 7 hari seminggu sekehendak hatinya.
Di sisi lain, Baroness Greenfield, pakar farmakologi sinaptik mengungkapkan bahwa pengguna media sosial semacam Facebook dan Twitter dikhawatirkan menderita semacam krisis identitas. Di mana media sosial mendorong lahirnya generasi “narsis”. Generasi yang terobsesi dengan dirinya sendiri dan mempunyai keinginan untuk mendapat perhatian terus-menerus. Lebih dari itu, generasi ini merasa bahwa mereka adalah selebritas mini yang harus senantiasa diamati, ditilik dan dikagumi oleh pengguna lain.
Menilik berbagai hal tersebut, media sosial memang hadir membawa sejuta kisah, peluang maupun ancaman sekaligus. Menjadi melek dan bijak terhadapnya adalah pilihan terbaik untuk menerima serta bergaul dengan media yang penuh spektrum dan pesona ini.
Lihat pula di: http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/media-sosial-ruang-maya-dan-narsisme-diri-120951.html