Film Kita Wajah Kita

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Harian Joglosemar, 11 Februari 2013, hal. 8

Sumber Gambar: http://www.merdeka.com/artis/inilah-pemenang-piala-citra-festival-film-indonesia-2012.html

Judul tulisan ini penulis ambil dari tema FFI (Festival Film Indonesia) yang digelar akhir tahun lalu. Sebagai produk budaya, film telah berhasil menyihir seantero jagat raya ini. Namun sejatinya ia telah memunculkan decak kagum dan takjub khalayak jauh sejak awal kelahirannya. Hal ini mungkin seperti sebentuk kekaguman sebagaimana yang dialami oleh para pengunjung di ruang bawah tanah Grand Café di Boulevard de Capucines No. 14 Perancis, ketika seabad silam Lumiere Bersaudara mempertontonkan “hasil percobaannya” kepada para pengunjung kafe tersebut.

Membaca sebuah film tentu tidak dapat dilakukan secara sederhana dengan hanya sekadar menyorotkan mata ke layar putih. Melainkan lebih kompleks karena ia merupakan entitas yang ”hadir” dengan beragam latar belakang. Ia merupakan sebentuk seni sekaligus praktik sosial. James Monaco dalam How to Read a Film (1977) memberikan suatu catatan penting perihal bagaimana memahami film. Monaco mengurai perihal memahami film adalah bagaimana melihat setiap unsur, baik sosial, politik, budaya, psikologi dan estetis film berada dalam sebuah hubungan yang dinamis.

Oleh karena itu, jelas bahwa film tidaklah hanya menampilkan ulang akan suatu gambaran realitas an sich. Ia tidak hanya merepresentasikan, merefleksikan atau sekadar cermin realitas melainkan melakukan konstruksi pula terhadap realitas. Mengenai hal ini, Graeme Turner dalam bukunya, Film as Social Practice (1993) mengungkapkan: ”Film does not reflect or even record reality; like any other medium of representation it constructs and ‘represent’ it pictures of reality by way of codes, conventions, myth, and ideologies of its culture as well as by way of the spesific signifiying practices of the medium”. Senada dengan Monaco, Turner memberi penekanan bahwa film harus dipandang sebagai bentuk yang lebih kompleks karena berbagai komponen turut hadir dalam proses menciptakan suatu film.

Menilik hal tersebut, maka film dapat merupakan suatu tafsir, imajinasi, candraan ataupun produk kepentingan tertentu karena ia sudah tentu bukanlah medium yang netral dan bebas nilai. Ia mahir membawa suatu misi tertentu. Kita tentu ingat film pernah menjadi sebentuk propaganda rezim Orde Baru. Sebut saja Pengkhianatan G-30-S/PKI, Enam Djam di Jogja, Janur Kuning dan Serangan Fajar. Terlepas bahwa karya tersebut begitu mumpuni apabila dilihat dari sajian yang ditampilkan namun konteks propaganda berupa kultus individu, pembelokan sejarah ataupun gambaran hegemoni militer begitu kental dalam film-film tersebut (Alkhajar, et al, 2012).

Soft Power

Film tidak dapat dimungkiri mampu merekam suatu zaman, kondisi masyarakat tertentu ataupun kode-kode budaya saat film tersebut diproduksi sekalipun ia tidak pernah diarahkan serta dimaksudkan untuk hal itu. Hal ini senada dengan apa yang dituturkan Ron Mottram dalam tulisannya “Cinema and Communication” (1990): “Films reflects the cultural codes of society in which they are produced”.

Sumber Gambar: http://keykakeyka.blogspot.com/2012/07/film-indonesia-favorit-saya.html

Melalui film pun kita mampu membaca tampilan wajah suatu bangsa, belajar mengenai banyak hal dalam konteks kehidupan bahkan mampu mencandra mentalitas suatu bangsa sebagaimana pernah dilontarkan Sigfried Kracauer: ”The films of a nation reflect its mentality in a more direct way than other artistic media”. Oleh karena itu, menghadirkan film berkualitas dengan pesan yang sarat akan nilai-nilai inspirasi adalah sebuah dambaan besar penikmatnya sekaligus tantangan yang senantiasa seru bagi para sineas negeri ini. Kita semua berharap ke depan layar putih kita tentu tidak sekadar menjadi tampilan produk komoditas dengan uang sebagai muara akhirnya di mana unsur sensualitas diumbar serta para hantu dijadikan jualan.

Terlebih film dapat menjadi soft power bangsa dalam jagat internasional. Ia dapat menampilkan budaya, kearifan lokal, nilai-nilai luhur serta berbagai keunggulan bangsa. Film yang sarat akan rimbun tanda dan makna sesungguhnya pun mampu menjadi instrumen penting dalam membangun karakter bangsa. Negeri 5 Menara, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi serta Habibie & Ainun merupakan beberapa contoh karya film bernilai, bermutu nan sarat pendidikan karakter.

Lihat pula di: http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/film-kita-wajah-kita-118061.html