Sinergi Solo Raya dan Tourism Reinforcement
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di www.solopos.com, 24 September 2012
Berakhirnya rezim orde baru menandai babak baru perjalanan bangsa Indonesia. Berbagai gagasan sebagai imbas reformasi pun menyeruak. Salah satunya adalah gagasan otonomi daerah yang kini menjadi primadona sekaligus mengakhiri pola sentralisasi yang dipraktikkan penguasa negeri ini di masa lalu.
Maskun dalam buku Otonomi Daerah, Peluang dan Tantangan (2002) mengungkapkan bahwa otonomi daerah melahirkan peluang dan konsekuensi sekaligus. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada setiap daerah untuk mengelola wilayahnya sesuai dengan kontekstual potensi yang dimiliki.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian berganti menjadi UU No 32 Tahun 2004. Otonomi daerah juga dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian kesatuan wilayah pemerintahan untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan dengan berorientasi kepada kondisi daerah dan tuntutan kebutuhan masyarakat daerah setempat.
SUBOSUKA WONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten) atau dikenal Solo Raya merupakan suatu kawasan daerah yang memiliki akar kesejarahan bersama yang kuat. Seiring perjalanan, Solo Raya kini berubah menjadi kawasan yang kian maju dengan beragam karakteristiknya. Namun setidaknya belakangan ini Solo Raya serius menggarap apa yang dinamakan pariwisata dengan berbagai branding dan kemasan yang disajikan.
Merujuk pada Pendit (2002), pariwisata berasal dari bahasa Sanskerta, yakni terdiri dari tiga kata: pari (lengkap, penuh, berkeliling)-wis (rumah, kampung, komunitas, properti)-ata (pergi terus-menerus, mengembara). Sehingga dapat dimaknai bahwa pariwisata berarti pergi secara lengkap meninggalkan rumah (kampung) berkeliling terus-menerus.
Pariwisata kini menjadi salah satu komoditas unggulan dari Solo Raya. Dan tidak dapat dimungkiri bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor strategis yang juga menjadi bagian terpenting yang digarap daerah. Riset yang dilakukan penulis (2010) berkaitan dengan branding dan pariwisata di Solo Raya, setidaknya membuktikan bahwa masing-masing daerah dalam lingkup Solo Raya ini memang memiliki berbagai potensi pariwisata yang luar biasa hebat dan daerah telah melakukan upaya untuk mengoptimalkan hal tersebut melalui berbagai paket yang ditawarkan kepada para wisatawan.
Terlebih perkembangan selama beberapa tahun belakangan ini dapat kita lihat misalnya di Kota Solo bahkan kerap digelar beragam event bertaraf internasional. Namun ada beberapa hal catatan dari riset yang pernah saya lakukan tersebut, antara lain, pertama, tidak semua wilayah dalam lingkup Solo Raya memiliki branding, hal ini dikarenakan belum adanya upaya serius baik itu good will dan political will dari daerah untuk menggali potensi keunikan dan keunggulan yang dapat dijadikan alat untuk mengomunikasi potensi daerah tersebut.
Kedua, masih terdapatnya ego sektoral dari masing-masing daerah sehingga dapat dikatakan untuk ranah sinergisitas antar daerah dalam lingkup Solo Raya dapat dikatakan masih lemah karena memang belum ada forum berkelanjutan untuk menggagas mengenai hal tersebut ditambah sulitnya menyatukan program-program.
Ketiga, sebenarnya Solo Raya sudah memiliki identitas bersama yakni “Solo, the Spirit of Java” sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan Bersama Bupati/Walikota SUBOSUKA WONOSRATEN tertanggal 2 April 2008 tentang Identitas Wilayah SUBOSUKA WONOSRATEN. Hanya saja, hal tersebut nampaknya belum diserapi dan diimplementasikan secara maksimal oleh semua lingkup wilayah yang ada.
Koordinasi merupakan permasalahan klasik terutama dalam hal mensinkronkan program kerja dengan masing-masing kota/kabupaten dalam kepengurusan kerjasama Solo Raya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penguatan sinergi Solo Raya karena dalam era globalisasi jelas tidak dapat mengandalkan satu kawasan sendiri.
Selain kurang efektif tentunya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Terlebih se-Solo Raya memiliki kearifan lokal masing-masing. Untuk mengikat itu, diperlukan adanya pemahaman bersama akan filosofi antar pemerintah daerah sehingga tidak menimbulkan suatu persangkaan bahwa hanya ada satu atau beberapa daerah saja yang diuntungkan dari gaung “Solo, the Spirit of Java”.
Ke depan, upaya peningkatan daya saing untuk mengoptimalkan kembali potensi daerah harus mampu digagas secara bersama. Salah satunya adalah penguatan pariwisata (tourism reinforcement) melalui langkah-langkah diantaranya memperkuat jalinan kemitraan antara pemerintah daerah di Solo Raya, pelaku wisata (swasta) dan masyarakat lokal. Kemudian, pengembangan industri pariwisata hendaknya diarahkan untuk lebih mendorong pelibatan masyarakat (community based tourism) dengan pendekatan partisipatori (participatory approach).
Dan terakhir, adalah membuang jauh ego sektoral baik internal maupun antar daerah. Di mana hal ini harus dihindari karena akan menimbulkan upaya kontraproduktif terhadap jalinan kerja sama yang telah dibangun. Oleh karena itu, upaya sinergi tersebutlah yang seharusnya dibangun untuk mengangkat Solo Raya sukses bersama.
Sumber: