Terjerat Cinlok (Akademia Joglosemar)
Jika ada kisah cinta di bangku sekolah, maka demikian juga di bangku kuliah. Rasa tertarik alias naksir dengan teman sekelas, kakak tingkat ataupun dosen sangat mungkin terjadi. Lantaran terbiasa berinteraksi bukan tidak mungkin terjalin cinta lokasi (Cinlok).
Seperti yang disampaikan salah satu mahasiswa FISIP UNS, Raditya (19), ia menilai intensitas pertemuan menjadi salah satu sebab utama terjadinya cinta lokasi. Awalnya terasa hanya biasa saja, namun lambat laun ada perasaan lain yang menyelimuti hati, terlebih jika ada kecocokan di antara keduanya.
“Seringnya berinteraksi menciptakan keakraban hingga akhirnya bisa saling mengerti satu sama lain meskipun sama-sama sebagai teman satu kelas,” ujar Raditya yang mengaku sedang menjalin cinta lokasi dengan rekan sekelasnya.
Ditemui, Selasa (6/3) di kampusnya FISIP UNS, mahasiswa semester IV ini menganggap ada nilai positif saat menjalin cinta lokasi, yakni saling memotivasi di perkuliahan. “Kalau saya, cinta lokasi tidak mengganggu juga. Justru kami berdua jadinya lebih kompetitif. Masing-masing berusaha menjadi lebih baik sejak hubungan khusus terjalin,” aku Raditya.
Disinggung kemungkinan terganggunya kuliah ketika terjadi pertengkaran antarakeduanya, Raditya mengaku kuncinya tidak mencampuradukkan antara masalah pribadi dengan posisi sebagai sesama rekan sebangku kuliah. Kemungkinan terjadi masalah juga diutarakan Hutma Farandika Pratama (22), mahasiswa Fakultas Hukum UNS.
“Selain efek positif, Cinlok pun bisa berefek negatif juga jika misal kandas di tengah jalan. Misal perasaan jadi jengkel, kuliah pun jadi malas karena merasa canggung saat ketemu Si Dia. Ya susah-susah gampanglah Cinlok itu,” ungkapnya.
Sementara itu, bagi pengamat budaya populer dari UNS, Eka Nada Shofa Alkhajar SSos MSi, cinta lokasi termasuk di dunia kuliah adalah hal wajar. Meminjam sekuel syair lagunya Iwan Fals, kata Eka, karena cinta soal hati. Cinta menurutnya bisa hadir di mana pun berada, tak terkecuali di bangku kampus antara sesama teman satu kelas, beda kelas atau jurusan dan atau bahkan antara dosen dengan mahasiswanya. “Seiring dengan perguliran waktu, cinta lokasi bahkan pun menjadi salah satu tren dalam ranah budaya modern,” ujar dosen Jurusan Komunikasi UNS ini.
Meski dianggap wajar, namun Eka menekankan cinta lokasi harus tetap memiliki rel positif. Jangan sampai cinta lokasi malah dipakai untuk berbuat hal-hal yang bisa merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. “Jangan malah terjerumus dalam perilaku-perilaku negatif dan serba bebas. Namun harus selalu ingat pada norma-norma positif yang ada, agar hubungan tidak melenceng dan bisa berakibat baik nantinya,” ingatnya.
Lebih lanjut diutarakan, cinta lokasi seharusnya bisa menjadi peletup dan pendorong bagi terciptanya sifat dan sikap kompetitif positif. Baginya, harapan ideal itu bukan tidak mungkin diwujudkan meskipun tidak menutup kemungkinan terhampar kerikil-kerikil masalah dalam perjalanan membina cinta lokasi itu. Namun, imbuhnya, jika masing-masing pasangan bisa saling mengerti, berpikir dan berbuat positif, ujian apapun akan bisa dilewati berdua dengan lapang dada.
“Seumpama pas lagi berantem, seharusnya Sabtu-Minggu bisa buat ngerjain tugas malah udah keburu males jadinya. So not only manage your time, but also manage your energy,” terang pengarang buku Manusia-Manusia Paling Misterius di Dunia ini.
Selanjutnya, Eka mengimbau para pelajar atau mahasiswa yang terlibat dalam cinta lokasi agar menyelami filosofi cinta. Dikatakan dia, cinta itu punya energi positif dan akan berefek positif jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu, jangan sampai terlalu sibuk memikirkan cinta tapi justru lupa kuliah, malas kerja atau apatis berprestasi.
“Jika tidak bisa mengelola dengan baik, cinta lokasi itu akan menjadi bumerang bagi mereka yang terlibat baik aspek citra diri, aktivitas dan bahkan respons lingkungan. Jadikan cinta sebagai energi positif untuk berprestasi dalam kehidupan,” pungkasnya.
Sumber: Harian Joglosemar, 9 Maret 2012