Tugas dan Tanggung Jawab Pemuda
Eka Nada Shofa Alkhajar
Dimuat di Joglosemar, 27 Juli 2011
Banyak orang mengira KNPI sudah mati bersama ambruknya pemerintahan Soeharto. Sehingga pasca reformasi beberapa kalangan ingin membubarkan organisasi ini karena stigma bahwa KNPI pernah menjadi “anak emas” Orde Baru di masa pemerintahan Soeharto tersebut.
Merujuk pada Bramastia (2007), pada waktu Orde Baru banyak orang ingin masuk ke dalam KNPI dimana tentunya dengan berbagai harapan turut memperoleh bagian kue pemerintahan untuk kepentingan sendiri. Menilik hal tersebut berarti, saat itu dari segi moralitas, leadership, dan intelektualitas KNPI hampir minim memenuhi standar kepemudaan yang progresif. Dengan demikian, dalam sejarah bangsa Indonesia, diakui atau tidak, KNPI sebenarnya punya andil terhadap dosa sejarah yang telah ditorehkan Orde Baru. Setidaknya stigma negatif tersebut sampai saat ini seakan masih segar bahkan seakan terus menempel pada KNPI.
Tri Guntur Narwaya dalam Kuasa Stigma dan Represi Ingatan (2010), mengungkapkan bahwa stigma merupakan narasi ingatan masa lalu karena sebuah “cap” yang diberikan kepada sesuatu baik itu seseorang atau kelompok sosial. Dimana “cap” ini membentuk konstruksi makna sekaligus bekerja untuk memberikan batasan-batasan definisi tersendiri bagi ”si korban”. Oleh karena itu, andaikan KNPI tidak mau distigmakan sebagai “anak emas” Orde Baru, organisasi ini harus segera melakukan revitalisasi. Upaya untuk mengembalikan elan vital KNPI tentu hanya dapat dilakukan dengan aksi nyata dan bukan hanya wacana an sich.
Realitas sejarah telah membuktikan walaupun sempat ingin dibubarkan, namun kini nyatanya KNPI tetap eksis. Harapan membumbung dalam pundak KNPI tentunya adalah harapan bahwa KNPI diharapkan masih bisa menjadi embrio-embrio perubahan dan menjadi wadah persemaian kader pemimpin bangsa ke depan.
Idiom Pemuda
KNPI dengan idiom pemuda pada huruf “P” bukanlah suatu hal yang sembarangan. Hal ini dikarenakan pemuda memiliki peranan yang tidak dapat dilupakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Selain itu, sejumlah fakta sejarah telah mencatat dengan tinta emas peran dan kekuatan pemuda dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Sebut saja, Proklamasi 1945 hingga Reformasi 1998. Bahkan Soekarno pernah berucap, “beri aku sepuluh pemuda revolusioner maka aku akan mengguncang dunia”.
Namun sebagai catatan, di masa kini sudah saatnya kita melakukan tinjauan kritis akan mitos dari pemuda dalam arti bahwa sudah bukan waktunya lagi bagi pemuda di masa sekarang terus terbuai dengan sebuah jubah kebesaran historis dari peran pemuda di masa lampau, justru kini telah tiba waktunya untuk menggoreskan tinta sejarahnya sendiri. Artinya pemuda tidak hanya memiliki kesadaran yang hanya berkutat pada masa lalu semata melainkan harus memiliki kesadaran yang berorientasi masa depan.
Ada aksioma bahwa sebuah peradaban suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari peran pemudanya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam lingkar sejarah suatu bangsa peran pemuda memang sangat menentukan terhadap peradaban sebuah bangsa tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa kualifikasi suatu bangsa ditentukan oleh pemuda yang dilahirkan. Karena pemudalah yang kelak akan menjadi tulang punggung bangsa ini ke depan. Pemuda memiliki energi potensial untuk melakukan perubahan sejarah. Bahkan Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam Our Time is Now: Young People Changing the World (2005) menekankan kembali bahwa abad ke-21 adalah abad kaum muda. Dimana hal ini ditandai dengan semakin berperannya pemuda dalam perubahan dunia.
Oleh karena itu, siapapun yang mengaku pemuda, wajib menyadari peran mereka bagi masa depan bangsa sehingga sudah seharusnya dapat memaknai, memahami, dan menghayati serta mampu mengejawantahkannya dalam menjawab segenap problematika bangsa minimal di lingkungan sekitarnya.