Gethok Tular dan Pariwisata

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Pelita, 21 Januari 2010

The medium is the message (McLuhan).

Indonesia bagaikan untaian mutiara di khatulistiwa. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, banyak hal yang patut dibanggakan di negeri ini baik itu keindahan alam maupun keragaman budaya.

Lalu, bagaimana agar keindahan alam dan kekayaan budaya Indonesia dapat dijual untuk memberikan masukan lebih bagi devisa? Pertanyaan tersebut, tentu relevan dengan program Visit Indonesia Year 2010 yang dicanangkan pemerintah sejak awal tahun ini.

Dalam majalah Cakram edisi Mei 2008, data tahun 2004 hingga akhir 2007 menunjukkan, wisatawan berkunjung ke Malaysia, Singapura dan Thailand jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang datang ke Indonesia. Malaysia (68,9 juta), Thailand (47,48 juta), Singapura (37,24 juta) dan Indonesia (19,2 juta).

Untuk mendongrak kunjungan wisatawan, pemerintah melalui Kementerian Budaya dan Pariwisata RI telah menyediakan dana untuk komunikasi pariwisata sebesar Rp. 150 miliar yang diharapkan mampu menyedot sekitar 7 juta wisatawan.

Pada saat membicarakan arti penting komunikasi dalam pariwisata, orang selalu menunjuk kepada media dan lembaga komunikasi. Media komunikasi pariwisata dapat berupa surat kabar, majalah, brosur, televisi, radio dan film.

Lembaga komunikasi pariwisata berkaitan dengan promosi pariwisata secara nasional seperti Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) dan semua konsulat serta Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang ada di berbagai negara.

Namun, ada yang terlupa bahwa diluar media dan lembaga komunikasi itu terdapat suatu proses komunikasi gethok tular yang berkembang di antara wisatawan dan pramuwisata (guide). Dalam terminologi komunikasi, gethok tular atau komunikasi dari mulut ke mulut (mouth to mouth communication) merupakan bentuk komunikasi non media (Chusmeru, 2001).

Bentuk komunikasi ini dapat terjadi pada skala mikro (interpersonal) maupun dalam skala makro (sosial). Komunikasi gethok tular ini mempunyai peranan sangat penting dalam kegiatan pariwisata.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase sumber informasi bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia terbanyak berasal dari komunikasi gethok tular di antara wisatawan. Misalnya, R.G. Soekadijo (1996: 256) menyebutkan bahwa sumber informasi tentang Indonesia yang diperoleh wisatawan melalui teman atau kenalan sebanyak 29,8 persen.

Melalui agen atau biro perjalanan 23,3 persen. Sedangkan informasi lewat surat kabar dan majalah 10,7 persen, brosur 17,2 persen, televisi dan radio 4 persen. Sumber informasi yang berasal dari lembaga masing-masing 2,2 persen lewat KBRI dan konsulat dan 2,6 persen melalui P3I.

Bila dijumlahkan presentase sumber informasi berdasarkan media, lembaga, dan gethok tular, maka persentase terbesar ada pada sumber informasi teman dan biro perjalanan yaitu 53,1 persen. Media komunikasi dipercaya sebagai sumber informasi sebesar 31,9 persen.

Sedangkan sumber informasi wisatawan melalui lembaga P3I dan KBRI hanya 4,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi gethok tular, baik melalui teman maupun biro perjalanan (termasuk pramuwisata) mempunyai peranan yang sangat penting.

Sebut saja Bali sebagai salah satu primadona bisnis pariwisata Indonesia sudah barang tentu sangat berkepentingan terhadap proses komunikasi gethok tular. Sebagai konsekuensi terkonsentrasinya wisatawan, berbagai informasi lebih cepat menyebar, baik informasi bisnis, sosial, budaya, politik maupun kriminalitas. Misalnya, peristiwa yang terjadi di Bali lebih cepat menyebar secara luas ke berbagai negara dibanding dengan daerah-daerah di Kalimantan. Meskipun media massa nasional dan KBRI tidak memberitakan peristiwa kriminal yang dialami wisatawan selama di Bali, peristiwa itu tetap tersebar ke mancanegara. Wisatawan-wisatawan lain yang menyaksikan dan mendengar peristiwa itu akan berperan sebagai jurnalis bagi wisatawan lain.

Selama komunikasi gethok tular terjadi dalam skala mikro tidak begitu mengundang masalah. Informasi tentang peristiwa di kawasan wisata hanya berkembang dari seorang wisatawan kepada wisatawan lain. Namun, masalahnya akan menjadi serius apabila informasi itu berkembang dalam skala makro. Serombongan wisatawan yang mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari masyarakat di sekitar objek wisata akan segera menyebarluaskannya kepada kelompok wisatawan lain serta sanak keluarga di negaranya. Akhirnya, informasi itu akan meluas menjadi opini publik yang merugikan bisnis pariwisata. Padahal opini publik diakui sebagai the invisible force yang berbahaya.

Kekuatan komunikasi gethok tular itu sendiri sesungguhnya terletak pada kuatnya isu atau masalah, dan arti penting masalah tersebut bagi wisatawan. Opini negatif yang berkembang di antara wisatawan tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Opini yang sudah terlanjur mengkristal dan membatu (festing) sangat sulit diperbaiki maupun diubah. Oleh karena itu, diperlukan saluran (canalization) opini agar sesuai dengan yang diharapkan.

Berkaitan dengan komunikasi gethok tular, ada dua hal yang mungkin dilakukan untuk mengantisipasi opini yang kurang menguntungkan di bidang pariwisata. Pertama, menciptakan jaringan komunikasi gethok tular diantara wisatawan dan karyawan biro perjalanan. Melalui jaringan ini wisatawan yang akan dan sedang berkunjung telah dibekali informasi lengkap tentang berbagai persoalan yang terjadi di berbagai daerah.

Pramuwisata pun perlu mendapat bekal wawasan sosial, budaya, dan politik agar dapat memberikan penjelasan yang lengkap kepada wisatawan bila terjadi permasalahan di tanah air. Untuk itu diperlukan kerja sama dan koordinasi antar departemen yang terkait dengan bisnis pariwisata.Jaringan itu sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menyadarkan wisatawan agar tidak terburu-buru menyebarluaskan suatu masalah sebelum mendiskusikannya dengan instansi terkait.

Langkah kedua, perlu dibentuk semacam lembaga ombudsman. Lembaga ini berperan menampung dan menganalisis keluhan, kritik, dan saran wisatawan. Bentuknya bisa kotak pos, badan pengaduan pariwisata yang dikelola pemerintah atau swasta, maupun media massa lokal. Selanjutnya, hasil analisis lembaga ombudsman disampaikan kepada instansi pemerintah dan swasta yang bergerak di bidang pariwisata untuk mendapat tanggapan dan pemecahan masalah.

Dengan demikian, permasalahan yang dialami wisatawan tidak berkembang menjadi opini publik yang merugikan bisnis pariwisata. Isu negatif tidak menyebar melalui komunikasi gethok tular, tetapi ditampung dan diarahkan lewat saluran yang tersedia. Ini dapat efektif, dengan syarat setiap komponen pariwisata baik itu pemerintah, pengusaha bisnis perhotelan, biro perjalanan maupun penyedia jenis jasa layanan transportasi mampu bersinergi satu sama lain serta bersedia menerima kritik secara terbuka; betapapun kritik itu kurang menyenangkan.