Saatnya Aktif, Bukan Diam-diaman Keaktifan di Kelas Latih Kemampuan Berkomunikasi

Sangatlah miris jika seseorang yang berpredikat mahasiswa, namun masih kesulitan dalam berkomunikasi. Mahasiswa, merupakan golongan yang selama ini diunggulkan di dalam masyarakat, sehingga dituntut mampu dan mahir berkomunikasi untuk mencurahkan pemikirannya.

Untuk melatih kemampuan berkomunikasi, tentu juga terdapat tahapan atau proses pembelajarannya. Biasanya seorang mahasiswa belajar cara berkomunikasi di kelas mulai dari kelompok terkecilnya, seperti di kelas atau dalam organisasi. Dengan pembiasaan yang baik untuk berkomunikasi, secara berlahan mahasiswa akan mahir tata bahasa dalam berkomunikasi. Selain itu, mental atau keberaniannya juga akan terbentuk dengan sendirinya.

Kepada Joglosemar, Selasa (13/9), Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), Eka Nada Shofa Alkhajar, mengatakan, kelas kuliah merupakan media terkecil interaksi mahasiswa. Media ini mempunyai manfaat besar dalam pembelajaran berkomunikasi. Sehingga mahasiswa harus bisa memanfaatkannya secara maksimal, dengan keaktifan dan respons yang tinggi dalam proses kegiatan belajar berlangsung.

“Sebisa mungkin mahasiswa harus pintar-pintar memanfaatkan proses kuliah di kelas. Apalagi, model pembelajaran saat ini dosen hanya bertindak sebagai fasilitator dan menuntut mahasiswa untuk bisa aktif di kelas. Misalnya dengan kegiatan diskusi tema, yang dimunculkan dosen. Momen seperti inilah yang akan mewajibkan mahasiswa menguraikan pendapatnya,” papar pengampu mata kuliah Komunikasi Organisasi ini.

Lebih lanjut, dikatakan hal ini utamanya berlaku bagi mahasiswa biasa yang tak aktif dalam kegiatan keorganisasian. Sebab, para organisatoris atau mahasiswa yang aktif dalam sebuah organisasi baik ekstra ataupun intrakampus. Mahasiswa yang biasa disebut aktivis itu, dalam organisasinya sudah dituntut bisa berkomunikasi dari proses pembelajaran dalam organisasi.

Dengan proses dialektika atau diskusi, katanya, maka efektif untuk membentuk kemampuan berkomunikasi mahasiswa. Selain itu, tingkat kepercayaan diri juga akan semakin tinggi, karena dialektika menuntut kita berpikir dan harus disampaikan kepada lawan bicaranya. “Tugas utama mahasiswa itu, membaca, berdiskusi, dan menulis. Kalau ketiganya dilakukan dengan baik, maka output-nya ke depan juga akan baik terutama kemampuan dalam komunikasi,” ungkapnya.

Menghidupkan
Sebagai dosen, tentunya juga harus berperan aktif untuk menghidupkan suasana kelas, agar mahasiswa tertarik untuk menguraikan pendapatnya. “Kalau dalam kelas saya, sebisa mungkin suasana harus hidup dan menyenangkan. Saya kerap melontarkan pertanyaan, agar mereka juga berpikir dan menjawabnya dengan beberapa penjelasan. Kalau perlu, keakraban antara dosen dengan mahasiswa juga harus terjalin,” papar pemuda kelahiran Jakarta itu.

Kendati demikian, diamnya mahasiswa saat berada di kelas sebenarnya disebabkan banyak hal, di antaranya memang sifatnya pendiam, sedang malas, bosan dan acuh tak acuh terhadap lingkungan serta bisa jadi mahasiswa yang bersangkutan tengah dirundung masalah. “Sehingga perasaan semua itu di bawa saat mereka kuliah,” ujar Kepala Program Studi (Kaprogdi) Psikologi Universitas Setia Budi (USB) Surakarta, Yustinus Joko Dwi N SPsi MPsi.

Diutarakan dia, ke semua kondisi tersebut wajar dimiliki semua orang. Namun sebagai manusia yang memiliki akal, pikiran dan budi pekerti seharusnya kita mampu menempatkan diri di mana kita berada. Mahasiswa pasif di kelas, kata dia, tak berarti tak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, faktor dosen dan keberadaan lingkungan kampus juga membawa pengaruh. “Itu tergantung pendekatan personal dan metode pengajaran yang diberikan dosen kepada mahasiswa mampu menghidupkan suasana atau tidak. Karena keberadaan dosen bukan hanya sekadar membagikan ilmu kepada muridnya, melainkan mampu menerapkan suatu proses pembelajaran yang nyaman antara mahasiswa dan dosen,” sambung Joko.

Lebih lanjut dikatakan, kegiatan orientasi mahasiswa baru yang digelar kampus juga ikut mempengaruhi pandangan mahasiswa terhadap lingkungan kampus. –Anisaul Karimah & Raditya Erwiyanto–

Sumber: Joglosemar, 14 September 2011