Gundono, Suket dan Warisan Peradaban

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Gagasan, Vol. 20, No. 1, April 2014. Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) Yogyakarta, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Sumber Gambar: Gagasan, Vol. 20, No. 1 April 2014

Tepat di permulaan tahun 2014, dunia kesenian dikagetkan dengan berpulangnya, Slamet Gundono, salah seorang seniman besar di Kota Bengawan karena komplikasi penyakit. Tak pelak, jagat kesenian pun sontak berduka. Sejatinya ia tengah mempersiapkan pementasan lakon Gunadewa guna memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia tahun 2014, tetapi ternyata takdir berkata lain.

Gundono dikenal sebagai seorang pementas ulung wayang suket. Ia berperan menghadirkan wajah dan suasana baru dalam dunia kesenian yang lebih energik dan berwarna. Sumbangannya bagi dunia kesenian khususnya wayang tak terbantahkan. Ia melakukan pergulatan pikir dan praktik guna mengejawantahkan hakikat wayang dalam dunia yang serba kontemporer. Putu Fajar Arcana dan Ardus M. Sawega (2009) menguraikan bahwa prinsip wayang suket Slamet Gundono sebenarnya membebaskan wayang dari bentuk yang beku. Pembebasan itu dibutuhkan sebagai pemecahan kebuntuan dunia pewayangan dan pedalangan, yang hanya mampu menjangkau kalangan tertentu.

Padahal, wayang bagi bangsa Indonesia ibarat anak kandung yang menjadi sebuah kebanggaan tak ternilai. Daya tahan dan daya kembang wayang bahkan telah teruji dalam menghadapi berbagai tantangan dari waktu ke waktu. Nurrochsyam et al dalam Digelar Pada Layar (2009) pun mengatakan bahwa wayang telah ada, tumbuh dan berkembang sejak lama hingga kini, melintasi perjalanan panjang sejarah Indonesia.

Selain itu, kita mesti ingat bahwa pada 7 November 2003, wayang Indonesia dengan judul Wayang, Puppet Theater Indonesia dikukuhkan oleh UNESCO sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Gundono sadar bahwa ini merupakan amanah yang harus senantiasa dijaga secara baik. Kesadaran itu ia wujudkan dengan melakukan terobosan untuk menghadirkan wayang yang dapat menjadi tontonan menghibur namun sarat tuntunan dan tatanan nilai serta ajaran mengenai referensi kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.

Oleh karena itu, sebagai seorang dalang, ia berani mendobrak “pakem” wayang yang ada. Ia mendekonstruksi seluruh konsep ruang dalam wayang dengan menghilangkan gedebok untuk menancapkan wayang, beber atau layar, dan lampu blencong seperti lazimnya pertunjukan wayang. Ia kemudian membangun konsep ruang baru dari awal dengan berbagai terobosan dan ide segar ke tengah masyarakat. Beberapa kalangan bahkan menjulukinya dalang kontroversial.

Suket sebagai Domain Utama

Gundono menjadikan wayang suket sebagai domain utama untuk mengomunikasikan gagasannya, walaupun ia menuturkan hakikat wayang adalah dunia bebas selalu berkembang karena sifatnya yang kontemporer. Maka tak heran, berbagai wayang lain pun ia ciptakan dan mainkan sebut saja: wayang air, wayang api, wayang nggremeng, wayang kondom dan sebagainya. Di mana kesemuanya, kerap berelasi dengan isu aktual di masyarakat.

Ia berhasil membuat nama wayang suket menjadi tenar sebagaimana wayang lainnya semisal wayang orang, wayang kulit, ataupun wayang golek. Suket baginya, bukan sekadar wahana an sich melainkan sebuah identitas penting dengan filosofi mendalam. Ia mengatakan bahwa tumbuhan suket mempunyai daya tahan yang luar biasa karena dapat tumbuh di mana-mana. Apabila dicangkul, dipotong, suket akan tumbuh kembali. Sebuah makna hidup yang tidak cengeng.

Dalam berbagai pementasan, Gundono laksana magnet ampuh yang mampu menarik dan menyedot simpati penonton. Ini karena ia mampu menghidupkan suasana dan berinteraksi dengan penontonnya. Percakapan antara para tokohnya pun tidak konvensional—sebagaimana pementasan wayang lain—di mana ada yang dimainkan secara langsung dan tidak melalui penokohan wayang yang berada dalam genggamannya. Sehingga keseluruhan pementasan wayang suket lebih bernuansa teatrikal ketimbang murni wayang.

Meminjam bahasa Stanislavski dalam Building a Character (1989), Gundono sukses membangun tokoh dengan apik untuk menyatu dalam tubuh setiap pementasan yang dilakukannya. Terbukti tubuh gempalnya tidak pernah menghalanginya untuk berkreasi dan berinovasi. Kemahirannya mengembangkan seni tradisional yang bersenyawa dengan idiom, nafas serta gaya modern ini pun mengantarkannya menerima penghargaan Prince Claus Award dari pemerintah Belanda di tahun 2005.

Berpijak pada pandangan DeVito dalam The Interpersonal Communication Book (2005), sebagai seorang dalang, ia memiliki kompetensi komunikasi yang mumpuni. Sebagaimana dipaparkan Spitzberg dan Cupach (1989), kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan tindak dan praktik komunikasi secara efektif dan berhasil. Hal ini penting karena hanya di tangan dalang yang piawai, wayang dapat hadir secara utuh dalam merealisasikan misinya sebagai tontonan sekaligus tuntunan. Seperti dituturkan Halim (2008), Gundono memainkan berbagai lakon pewayangan klasik yang diaktualkan dengan peristiwa nyata. Lakon demi lakon senantiasa bermunculan dari mulutnya. Namun, hakikat lakon itu sendiri, tetap saja, merupakan buaian moral yang diselimuti pakem pewayangan, musik, nyanyian, dan teatrikal. Ia pun mahir meramu berbagai komponen-komponen lain yang sesuai dengan cerita yang diangkat sehingga tidak monoton, hidup dan kaya akan ide cerita.

Sarana Pengucapan

Tak dapat dimungkiri bahwa Gundono memilih wayang sebagai sarana pengucapan kritik sosial, gugatan, sindiran satir hingga ajakan profetik dan altruistik melalui berbagai lakon dan ide cerita yang tak lekang. Misalkan saja lakon Suluk Ozon sebagai bentuk kritik berkenaan dengan kondisi lingkungan yang semakin terancam di mana lapisan ozon kian rusak akibat pemanasan global maupun polusi. Atau Catatan Harian Surtikanthi yang sarat pesan bagi generasi muda agar memiliki karakter kuat serta jiwa yang lebih tegar dalam menghadapi berbagai cobaan.

Ia tetap berpegang teguh bahwa segenap pementasannya tidak dimaksudkan untuk menyakiti siapapun di mana kritik-kritik sosial tajam pun ia kemas dengan humor dan satir yang pilu. Dalam sebuah film dokumenter yang diunggah di Youtube berjudul Profil Slamet Gundono (2005), ia menuturkan: Saya selalu melakukan pertunjukan untuk pertama, hadir untuk tidak menyakiti siapapun sekalipun ketika melakukan pertunjukan saya mencoba membuat kritik-kritik sosial yang cukup tajam karena kebetulan saya berasal dari Jawa yang pesisir yang mungkin lebih bisa sangat seenaknya untuk berbicara apapun dan terbuka tapi saya kemas dengan humor, dan kepedihan yang satir.

Tidak hanya itu, Gundono pun mahir mengambil nilai kearifan lokal zaman dulu di mana ia memilih konsep lataran dalam setiap gelarannya berupa bertutur layaknya mendongeng kepada anak-anak di latar atau halaman rumah. Hal lain yang harus dicatat adalah semangat dan idealismenya. Bagi Gundono, wayang adalah perkara yang tak akan pernah selesai. Tak heran berbagai lakon cerita pun senantiasa lahir untuk mengabarkan sekaligus mengingatkan.

Neil Postman (1995) pernah mengungkapkan bahwa setiap peradaban memiliki sistem konversasinya sendiri. Wayang dapat dikatakan merupakan sebentuk konversasi suatu peradaban. Laurie Sears dalam Shadows of Empire (1996) pun menuturkan bahwa wayang mahir membawa pesan-pesan tertentu. Gundono telah hadir membawa berbagai kisah yang sarat pesan moral melalui karya-karyanya. Tak ayal, ia pun telah melakukan peran transmission of values dalam ruang dialektika zaman. Pada sebuah kesempatan ia pernah mengungkapkan: yang saya ingin bawa, yang menonton pertunjukan-pertunjukan kami tidak pulang karena sakit tapi lebih mencoba tersentuh hatinya, tersentuh kehidupannya sehingga dia melakukan sharing, kemudian menemukan suatu pemahaman lain yang membuat dia bisa mengubah jalan hidupnya.

Gundono telah membuktikan pandangan Arnold Hauser dalam The Sociology of Art (1974) bahwa hadirnya perubahan dalam dunia kesenian adalah sebuah keniscayaan karena kesenian senantiasa bersinggungan dengan masyarakat. Gundono telah memilih untuk mentransformasikan jagat sejarah dirinya yang khas pesisiran dengan terma tradisi, pop, rural maupun urban sebagai sarananya melakukan proses pewarisan sosial (social heritage). Sang dalang memang sudah berpulang namun karyanya akan tetap dikenang sebagai warisan peradaban abadi. Tabik.