Negara, Pendidikan dan Esensi Kemerdekaan

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Harian Joglosemar, 11 Maret 2013, hal. 8

Sumber Gambar: http://ureport.news.viva.co.id/news/read/230556-potret-pendidikan-kita

Tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan merupakan instrumen penting bagi kemajuan suatu bangsa. Tidak ada sebuah bangsa yang maju tanpa pendidikan. Pendidikan ibarat ujung tombak bagi hadirnya perubahan yang dashyat di dunia ini. Pendidikan mampu melahirkan kesadaran dan kesadaran membimbing kepada suatu pergerakan menuju perubahan yang diidamkan. Berkaitan dengan hal ini, Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Oleh karena itu, keampuhan pendidikan sejatinya tak terbantahkan dan tidak dapat diragukan.

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia mencatat anak-anak bangsa yang berkesempatan mengenyam pendidikan mampu tampil sebagai pelopor bagi kebangkitan bangsa ini serta mendealektikakan semangat kemerdekaan. Sebut saja Soekarno, Mohammad Hatta, Wahidin Soedirohoesodo, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin dan lain sebagainya. Melalui pendidikan terciptalah bayangan sebuah bangsa merdeka dalam alam pikir mereka. Di mana hal tersebut menjadi cita-cita yang diperjuangkan dan diupayakan hingga akhirnya bangsa ini berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 lalu.

Ikrar kemerdekaan tersebut menjadi semangat baru dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara kesatuan, Indonesia berkewajiban melindungi segenap tumpah darah dan tanah air. Jauh apabila kita mau menilik ke belakang, salah satu founding fathers kita, Ir. Soekarno dalam Rapat Besar 1 Juni 1945 pernah menuturkan bahwa: “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu” (Latif, 2011; Alkhajar, 2012).

Akan tetapi, apabila menilik secara kritis kondisi kekinian bangsa Indonesia. Esensi dan amanat akan fakta kemerdekaan seperti tidak banyak dimanfaatkan secara baik dan benar. Betapa tidak, sudah 67 tahun lebih Indonesia mengecap kemerdekaan namun berbagai problematika masih menghantui, membelenggu bahkan kian bertambah. Khususnya di ranah pendidikan, negara ini sudah seharusnya mampu melunasi janji kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam realitasnya, praktik menuju ke arah ini di Indonesia sepertinya masih “jauh panggang dari api”. Komersialisasi pendidikan yang menjerat dan menghambat kaum tak berpunya masih tampak dalam catatan harian negeri ini. Belum lagi, praktik pendidikan yang dominan mengarah pada area kognitif semata sehingga para peserta didik menjadi buta aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi, sebagian para pelaku pendidikan masih bermental feodal di mana ruang-ruang dialektika kelas kerap dimatikan atau pengayaan bahan bacaan pembelajaran pun nampaknya hanya impian belaka. Betrand Russell dalam Skeptical Essays (1996) pernah mengatakan “Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal bahwa pendidikan menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecedasan dan kebebasan berpikir”.

 

Menguatkan Nasionalisme       

Mandeknya inovasi pendidikan dan lambatnya negara dalam melunasi janji kemerdekaan dapat kita tengarai sebagai bentuk miskinnya derivasi nasionalisme yang dulu pernah menggelora dan berpijar hebat. Nasionalisme seakan menjadi jargon tanpa mampu diimani dan dipraktikkan dalam menjawab tantangan bangsa. Nasionalisme bahkan kerap berakhir pada sekadar lip service politisi negeri ini dan menjadi obyek eksploitasi politik yang menghadirkan proyek-proyek dangkal karena sejatinya hanya uang target utamanya.

Rapuhnya bangunan nasionalisme dalam diri bangsa Indonesia setidaknya cermin dari berbagai fenomena yang melanda bangsa ini. Dalam ranah pendidikan misalnya, banyak masalah kebangsaan justru kerap dilakukan oleh orang yang notabenenya telah mengenyam pendidikan tinggi. Korupsi adalah contoh yang paling relevan. Belum lagi rendahnya tingkat kohesivitas sosial di negeri ini mulai dari tawuran remaja, pemuda, warga hingga perilaku memuakkan para pemimpin atau wakil rakyat yang seharusnya mampu menjadi suri teladan masyarakat.

Oleh karena itu, kini sudah saatnya bagi kita untuk terus mendorong percepatan munculnya sikap nasionalisme baru yang mengombinasikan berbagai aspek seperti penguasaan kognisi (ilmu pengetahuan dan teknologi), afeksi (wisdom, self-correction, critical thinking and attitude) sebagai bagian pembentukan kultur keamanan nasional (the culture of national security) yang menghimpun berbagai aspek kehidupan nasional seperti norma dan identitas nasional guna menghadapi berbagai persoalan pembangunan nasional yang kian rumit di masa datang. Dengan demikian, kita dapat mencegah mengemukanya nasionalisme yang hanya menekankan aspek kekerasan (the culture of violence) dalam mengatasi berbagai masalah pembangunan nasional, khususnya dalam membentuk dan memperkokoh nasionalisme (Perwita, 2007).

Kemudian pada aras pendidikan, Endang Sumantri (2012) mengungkapkan bahwa paradigma pendidikan masa sekarang yang sangat dibutuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan spiritual. Kalau seluruh bangsa berkehendak untuk mengembalikan suasana persatuan dan kesatuan bangsa yang kondusif dan patriotik, maka sangatlah urgen untuk menata kembali politik pendidikan nasional. Tingkatkan dan kembangkan kembali pendidikan politik bangsa yang patriotis, agamis, ideologis, dan berjiwa optimis.

Hal ini senada dengan semangat temuan kajian Darmaningtyas dan Edi Subhkan dalam Manipulasi Kebijakan Pendidikan (2012) bahwa amburadul serta tidak sinkronnya berbagai kebijakan pendidikan di negeri ini harus segera diakhiri serta menempatkan pendidikan ke fungsi sejatinya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah saatnya, negara ini berubah terlebih era globalisasi kian mendera. Kemampuan menjawab suatu perubahan sesungguhnya merupakan bukti bahwa sebuah negara itu mampu beradaptasi dengan baik. Jika tidak maka jangan salahkan apabila Indonesia kini disebut oleh Robert I. Rotberg dalam When States Fail: Causes and Consequences (2003) sebagai negara gagal di mana negara tidak mampu memenuhi semua kewajiban kepada rakyatnya.