Novel dan Pendidikan Karakter

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Harian Joglosemar, 22 Oktober 2012, hal. 8

Sumber Gambar: http://my.hsj.org/Schools/Newspaper/tabid/100/view/frontpage/schoolid/1201/articleid/325835/newspaperid/1177/NaNoWriMo_National_Novel_Writing_Month.aspx

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra berbentuk narasi. Dari anak-anak hingga orang dewasa banyak yang gandrung terhadap novel. Jakob Sumardjo dan Saini KM (1994) menuturkan alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Jawabnya adalah karena novel mampu memberikan suatu kegembiraan dan kepuasan batin.

Dalam kajian ilmu komunikasi, novel merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Sebagai bagian dari komunikasi massa, novel turut berperan dalam suatu praktik diseminasi pesan-pesan tertentu. Pesan itu sendiri dikonstruksi oleh sang komunikator melalui sebuah setting, ruang waktu dan penokohan yang ada dalam alur cerita yang disajikan. Sementara sebagai bagian dari karya sastra, novel mampu melintas ruang dan waktu. Ia dapat menjadi penanda zaman, perekam semangat zaman, mengabadikan suatu jejak sejarah yang belum terungkapkan sebelumnya bahkan sebagai wahana pendidikan.

Sebagai salah satu media massa, novel dapat memberikan pengaruh dan inspirasi luar biasa karena ia merupakan wadah komunikasi di mana seorang penulis menanamkan pesan-pesan yang ingin disampaikannya baik secara eksplisit bahkan implisit sekalipun. Novel menjadi wahana pengartikulasian ide, gagasan, kritik sosial, propaganda, bahkan sebuah keyakinan.

Sebagai contoh, novel Cinta Tanah Air (1944) karya Nur Sutan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Kedua novel ini merupakan novel propaganda. Dalam konteks ini dapat dilihat dari sisi kaitan di mana pemerintah Jepang yang membutuhkan simpati serta dukungan rakyat Indonesia. Selain terbit pada zaman Jepang, kedua novel ini berkisah, mengurai dan mengulas mengenai makna pembelaan terhadap tanah air dan serta gambaran mengenai tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Atau kita dapat melihat suatu representasi dari etnis Tionghoa dalam novel Dimsum Terakhir (2006) karya Clara Ng dan dirilis kembali di tahun 2012. Sang penulis menuturkan kisah keluarga dengan latar belakang Tionghoa secara mengalir, memikat dan menarik. Novel ini tidak lagi berbincang mengenai gugatan akan wacana diskriminasi atau harapan tuntutan perlakuan yang sama terhadap Tionghoa. Clara Ng dalam novelnya lebih mengungkap akan kisah bagaimana warga Tionghoa mampu menjalani serta menantang berbagai kesulitan yang membelit mereka terutama sebelum era reformasi bergulir.

Urgensi Pendidikan Karakter

Thomas Lickona dalam Educating for Character (1991) menuturkan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu ikhtiar yang secara sengaja untuk membuat seseorang memahami, peduli akan dan bertindak atas dasar nilai-nilai yang etis. Di tengah berbagai problema yang melanda bangsa ini. Para pemikir melontarkan gagasan pentingnya pendidikan karakter karena terbukti banyak manusia Indonesia yang pandai namun miskin nilai-nilai karakter sehingga berbalik menjadi perampok, maling bahkan kanibal bagi bangsanya sendiri.

Media massa termasuk di sini adalah novel memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat. Melalui novel, pendidikan karakter sesungguhnya dapat hadir secara mengalir serta menjadi suatu kesatuan dan spirit dalam uraian bahasannya. Dan sejatinya telah banyak novel yang lahir membawa semangat tersebut. Sebut saja Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata dan Ma Yan (2009) karya Sanie B. Kuncoro yang mengurai hebat kisah perjuangan menempuh pendidikan dari para tokohnya secara memikat. Begitu pula dengan Hafalan Shalat Delisa (2005) karya Tere Liye yang sarat pendidikan akhlak. Kesemua novel tersebut mengalirkan nafas pendidikan karakter yang indah dan seharusnya melekat hebat pada generasi-generasi penerus bangsa ini.

Hilangnya pendidikan karakter selama ini sesungguhnya merupakan salah satu problem besar bangsa ini sehingga jalan terbaik adalah mengarustamakannya kembali. Tentunya hal ini dapat terjadi hanya dengan kolaborasi seluruh komponen bangsa. Karena apabila tidak maka kita dapat melihat kebenaran apa yang jauh sebelumnya pernah ditengarai Mohandas K. Gandhi akan ancaman mematikan dari “tujuh dosa sosial” yakni politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.

Menutup tulisan ini, penulis sependapat dengan uraian Yudi Latif (2011: 48-49) bahwa di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga negara berlomba mengkhianati bangsa dan sesamanya, rasa saling percaya memudar, hukum dan institusi hukum lumpuh sehingga tidak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan (korupsi), ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela, kebenaran dimusuhi sementara kejahatan diagungkan. Tabik.