Menggelorakan Merdeka 100 Persen

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Joglosemar, 6 Agustus 2012

Sumber Gambar: http://fajridet.deviantart.com/art/generasi-merdeka-100-persen-95806435

Menilik sejarah pemikiran politik modern di Indonesia diawali dengan bangkitnya nasionalisme modern. Dimulai awal abad XX, ketika sekelompok kecil orang-orang terpelajar (kaum terdidik) mulai menyadari arti kemodernan dan tantangan bangsanya di masa-masa yang akan datang. Umumnya mereka memandang masa-masa yang akan datang, akan banyak bergantung pada mereka dan anggapan pemimpin potensial masa depan begitu diyakininya (Herbert Feith dan Lance Castles, 1970).

Dalam perkembangannya kesemua pemikir politik di masa itu seperti Hatta, Sjahrir dan lain-lain akhirnya menemukan kesadaran baru dan gerakan-gerakan perlawanan di mana pada akhirnya banyak yang menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai satu-satunya cita-cita politik.

Kesadaran untuk merdeka dan perjuangan tanpa henti akhirnya membuahkan hasil. Kemerdekaan Indonesia sebagai satu hal yang dicita-citakan sejak dahulu, dapat terwujud pada 17 Agustus 1945 walaupun perdebatan yang tajam dalam hal cara untuk memproklamirkan Indonesia merdeka hampir saja menjadikan tertundanya peristiwa bersejarah itu.

Dengan merdekanya Indonesia tidak dapat diragukan lagi nasionalisme sebagai konsep berbangsa dan bernegara amat berperan dalam proses kemerdekaan bangsa ini. Dalam konteks nasionalisme ini pula persatuan dan kesatuan bangsa amat penting. Sebagaimana sejarah mengatakan kita harus bangsa dengan nasionalisme kita di mana nasionalisme di negara-negara Barat lahir sebagai reaksi dari revolusi industri, sebuah gejala yang lahir sebagai akibat adanya pergeseran dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Namun di negara-negara ketiga, nasionalisme ini lahir sebagai sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme yang merajalela mulai abad XIX dan paruh awal abad XX (Safrizal Rambe, 2003).

Salah seorang founding fathers yakni Tan Malaka melalui analisis tajam dan kritis menemukan penyebab mengapa bangsa ini sekian lama terjajah dan sekali lagi jawabannya ditemukan pada soal mentalitas. Mental pasif dan tidak ada sifat ”untuk mencoba hal yang baru” inilah yang menyebabkan selalu menerima nasib yang akan menimpanya. Mengenyahkan penjajah imperialis semisal Belanda mungkin jauh lebih mudah jika didukung oleh revolusi rakyat, namun mengenyahkan feodalisme yang lebih “mengakar” dan membudaya dalam mental bangsa Indonesia pasti jauh lebih sulit untuk dilakukan.

Setidaknya hari ini semakin membuktikan mentalitas-mentalitas yang semacam itu seperti merajalelanya korupsi, menjual bangsa negara atas nama kepentingan golongan, para pemimpin yang takut untuk mengambil tindakan untuk memihak rakyatnya dan lain sebagainya. Semua itu hanya segelintir contoh mentalitas pasif yang mencari aman untuk diri sendiri tanpa mau berpikir inovatif, kreatif, dan revolusioner untuk bangsanya.

Belajar dari Tan Malaka, maka tidak ada jalan lain selain mengenyahkan dan menggantikan dengan mentalitas bangsa Indonesia dengan satu mentalitas aktif dan mencoba hal yang baru. Apa yang diungkapkan oleh Tan Malaka ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man (1991) di mana konsepsi pikiran itu akan menjadi suatu mental dalam realitas masyarakat.

Kedepan terlebih bagi kalangan terpelajar layaknya mahasiswa, Tan Malaka dalam Massa Actie (1986) mengingatkan agar kalangan generasi muda mampu berpikir dan bersikap rasional di mana hal ini penting bagi pengelolaan permasalahan dan guna mewujudkan tujuan. Dan selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademik saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka.

Saya pikir, memasuki gerbang baru kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2012 ini sudah saatnya, kembali mengobarkan semboyan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan, yakni “Merdeka 100%” dalam menghadapi gelombang neoliberalisme yang tengah melanda negeri dan benak para pemimpinnya.

Ya, Indonesia hari ini telah memasuki masa kemerdekaannya selama 67 tahun. Kita tentu patut mempertanyakan bagaimanakah nasionalisme kita yang mengaku bangsa Indonesia saat ini? Suatu pertanyaan reflektif guna mengekalkan kembali sebuah rasa yang dimiliki oleh para pejuang bangsa Indonesia terdahulu dengan kontekstualitas masa kini tidak hanya wujud wacana namun pada aplikasi dalam tindakan nyata. Semoga rasa nasionalisme kemerdekaan Indonesia kita ini bukanlah suatu seremonial belaka yang hanya membekas setahun sekali. Dirgahayu Indonesia. Maju terus bangsaku!.

Lihat pula di:

http://www.harianjoglosemar.com/berita/menggelorakan-merdeka-100-persen-89381.html