Membongkar Tradisi Tawuran

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Joglosemar, 12 Desember 2011

Peristiwa tawuran di negeri ini seakan menjadi cerita yang tak kunjung usai. Dari pelajar, mahasiswa sampai warga masyarakat pernah terlibat dalam ajang kekerasan ini. Khususnya tawuran antar pelajar ataupun tawuran melibatkan mahasiswa akhir-akhir ini menjadi demikian marak bahkan baru-baru ini aksi tidak bertangungjawab ini kembali berulang. Kita dapat melihat berita di berbagai media massa terutama televisi yang meliput aksi gagah-gagahan tersebut. Sebut saja kasus tawuran SMA 6 Jakarta dimana siswa menyerang wartawan. Atau peristiwa tawuran antar sesama mahasiswa sekampus di Makassar.

Pemicu aksi yang jauh dari kesan sebagai agen perubahan (agent of change) pun acap kali berawal dari hal-hal sepele seperti saling ejek, kalah main bola atau futsal, atau sekedar tersinggung. Saling serang dan baku hantam yang tak pelak menimbulkan korban luka-luka bahkan nyawa melayang seakan menjadi bumbu kehidupan generasi muda. Walaupun tidak dapat digeneralisir bahwa masih banyak pula generasi muda lain yang tetap berprestasi dan bertanggungjawab. Tentunya dengan adanya realitas tersebut menjadi fakta ironis catatan sejarah di kalangan generasi muda bangsa.

Louer dalam Alkhajar (2009), pernah mengutip sebuah kalimat dari naskah kuno “peradaban suatu bangsa akan menemui ajal apabila tindakan generasi mudanya yang keterlaluan diperbolehkan berlanjut”. Louer benar karena generasi muda atau pemudalah yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Jika generasi muda tidak mempersiapkan diri untuk menatap kehidupan di masa depan maka jangan harap bangsa tersebut akan maju dan berkembang.

Generasi muda sebagaimana pernah disebutkan Soekarno merupakan energi penggerak bagi perubahan bangsa ke depan. Ia bahkan pernah berujar “beri aku sepuluh pemuda revolusioner maka aku akan mengguncang dunia”. Ungkapan ini sebetulnya tidak berlebihan apalagi golongan pemuda memang menempati rekaman narasi hingga mitologi hebat dalam sejarah bangsa manapun termasuk Indonesia.

Tawuran merupakan suatu tindakan yang tidak pantas untuk dipertahankan apalagi menganggapnya sebagai budaya atau tradisi. Tawuran ibarat berperang tanpa tujuan. Alih-alih mendapat kebaikan tentu keburukan serta penderitaan dan trauma sudah menjadi niscayaan. Silakan tanyakan kepada Jaronah (39), seorang ibu yang anaknya, Andri Kuncoro (15), seorang Siswa SMK di Jakarta dibacok di dalam angkot oleh sesama pelajar yang notabenenya adalah kalangan generasi muda masa depan bangsa (Media Indonesia, 30 September 2011).

Bagi generasi muda, kepiawaian mengolah akal tentu harus diutamakan bukan malah mengedepankan okol. Jika tidak, inikah potret generasi muda kita ke depan? Fakta ironis ini tentu harus segera diubah. Apabila tidak maka “image” pelajar dan mahasiswa akan semakin terpuruk. Sebagaimana diungkap Sosiolog, Imam B. Prasojo, sebagai kalangan terdidik tindakan dan perilakunya seharusnya menjadi sebuah cerminan dan teladan yang baik bukan malah melakukan tindakan kekerasan yang begitu primitif.

Berikut ini ada beberapa catatan empirik yang hendaknya menjadi perhatian kita bersama mengenai tawuran terutama di kalangan pelajar maupun mahasiswa. Dalam ranah mahasiswa, riset Jumadi (2008) menemukan kecenderungan bahwa salah satu penyebab tawuran antar mahasiswa adalah tidak berfungsinya lembaga kemahasiswaan secara efektif sebagai lembaga integrasi untuk menyatukan nilai, norma atau peraturan yang berperan sebagai katup pengamanan konflik dan landasan bagi sebuah kebersamaan.

Sementara itu, pada ranah pelajar hasil investigasi yang dilakukan Media Indonesia (2011) memunculkan temuan bahwa senior dan para alumni berperan dalam menanamkan bibit permusuhan di hati siswa baru. Di balik doktrin dan intimidasi itu tercium motif keuntungan (ekonomi) misalnya dalam soal membeli barang seperti jaket “kebanggaan” yang dapat dikatakan dengan harga yang begitu tinggi.

Menilik realitas tersebut sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk dapat mengurai lebih dalam, mencari solusi pemecahan masalah, memutus mata rantai serta lingkaran setan kekerasan di kalangan generasi muda bangsa ini. Tidak hanya mengupayakannya dalam dunia nyata melainkan mulai sejak di dalam diri. Sebagaimana disampaikan Amartya Sen dalam Identity and Violence (2006) bahwa semangat untuk saling memusuhi ini baginya bukan semata-mata ditimbulkan oleh niat jahat, namun lebih banyak oleh kesalahan cara pandang. Karena itu, kita harus memastikan benak kita tidak terkurung oleh cakrawala pandang kita sendiri. Tabik.