Sedekah Paling Utama

Eka Nada Shofa Alkhajar

Dimuat di Solopos, 3 Juni 2011

Senja pagi terlihat mulai merona. Udara dingin masih terasa menusuk pori-pori. Namun di pagi buta itu, Pak Hasan sudah sibuk mengeluarkan sepeda ontelnya.

Setelah beronjong bambu yang sudah mulai kusam ia sematkan di belakang sepedanya, Pak Hasan berlalu menyusuri jalan kampung.

Setiap hari selepas salat Subuh berjemaah di musala dekat rumahnya, laki-laki separuh baya itu berkeliling mencari nafkah bagi keluarganya. Dengan penuh harap, sepeda butut itu ia kayuh dengan sigap.

Dalam setiap hari setidaknya saat aku bertemu dengannya kutatap di wajahnya senantiasa terlukis senyum, ada rona keikhlasan yang tampak.

Dan yang aku tahu, sepeda ontel butut itu adalah satu-satunya harta berharga yang dimiliki Pak Hasan bahkan sebagai sarananya mencari nafkah.

Rumah Pak Hasan dapat dikatakan bertipe sangat sederhana. Ia tinggal bersama istrinya, Bu Inah dan kedua anaknya, Rusdi dan Anwar. Kedua anaknya masih duduk dibangku sekolah dasar.

Aku sedikit banyak mengenalnya karena memang kosku masih satu daerah dengan Pak Hasan yang tak jauh dari kampus. Beberapa kali aku sempat berpapasan dengannya manakala aku akan berangkat kuliah di pagi hari. Dari beberapa kali perjumpaan itu kesan yang aku tangkap dari Pak Hasan, ia seseorang yang baik, ramah, santun dan rendah hati.

Hingga suatu hari, aku kembali berjumpa dengannya di pertigaan jalan kampung.

“Mau berangkat kuliah Mas?,” tanya Pak Hasan memecah pikiranku yang sedang memikirkan tugas presentasi kuliah.

“Eh, Pak Hasan iya Pak, maaf tadi saya agak melamun,” ujarku.

“Jalan kok sambil melamun Mas? Mikirin pacarnya yaa,” canda Pak Hasan.

Aku hanya bisa tersenyum sembari berkata,

“Ah, Pak Hasan bisa saja,” jawabku singkat.

“Saya punya impian Mas semoga kelak Rusdi dan Anwar bisa kuliah juga seperti Mas Esa,” sambungnya yang membuat aku tersentak dan tersadar. Spontan aku pun menjawab, “Amin Allhuma amin Pak.”

Setelah itu, Pak Hasan berlalu dan kembali mengayuh sepeda ontelnya yang sejak tadi dituntunnya ketika ngobrol denganku.

Setiap harinya Pak Hasan mengumpulkan botol-botol bekas air mineral dari beberapa rumah sakit di kota tempatku kini tinggal. Botol-botol itu akan dijual kepada pabrik industri daur ulang. Uang hasil penjualan itu, ia gunakan untuk menafkahi keluarga serta menyekolahkan kedua anaknya.

Sore hari sepulang kerja Pak Hasan tidak langsung beristirahat tetapi meneruskan menjalankan profesi lain sebagai tukang pijat. Kata Pak Hasan untuk tambahan penghasilan. “Sebagai seorang kepala rumah tangga, saya harus bertanggung jawab menafkahi keluarga Mas dan saya tidak pernah malu atau mengeluh dengan pekerjaan saya. Saya cukup bersyukur dan bagi saya kerja apa saja tidak masalah yang penting halal Mas,” ungkapnya kepadaku pada suatu kesempatan.

Pada kesempatan lain Pak Hasan menceritakan bahwa ia ingin mewariskan ilmu kepada kedua anaknya.

“Karena hal itu yang saya bisa Mas. Tidak mungkin saya akan meninggalkan warisan harta. Jadi, saya punya impian agar dapat menyekolahkan Rusdi dan Anwar setinggi-tingginya,” kata Pak Hasan sembari menerawang ke langit.

Namun, ada hal lain yang agak mengejutkanku. Ketika suatu hari saat aku berada dalam bus umum aku melihat Pak Hasan di seberang jalan berbincang dengan beberapa tuna wisma (gelandangan) di perempatan jalan di dekat stadion sepak bola. Ia terlihat membagi-bagikan sebagian botol-botol bekas air mineral yang ia kumpulkan kepada mereka. Setelah itu, ia pun pamit dan berlalu.

Pemandangan itu terus mengusik pikiranku. Di dorong rasa penasaran, pada suatu kesempatan bakda salat Subuh berjemaah aku berusaha mencoba mendekati Pak Hasan. Dengan hati-hati, aku menanyakan kejadian yang aku lihat tempo hari di dekat stadion.

Pak Hasan awalnya hanya tersenyum ramah merespons pertanyaanku. “Saya kan hanya seorang pemulung Mas. Kerjanya ya mengumpulkan botol-botol bekas. Kalau yang Mas tanya itu ya botol-botol itu sebagian saya berikan kepada orang-orang yang lebih kurang beruntung dibandingkan saya Mas. Botol-botol itu, nantinya dapat dijual dan uangnya cukup untuk membeli makanan walau tidak banyak,” jelasnya.

“Lha, Pak Hasan juga memerlukannya bukan?,” tanyaku keheranan.

“Botol-botol yang saya bawa sudah lebih dari cukup Mas. Bismillah saya niatkan itu sebagai sedekah saya Mas. Karena saya pemulung paling ya bisa bersedekah seperti itu saja Mas,” mendengar penjelasannya tersebut hatiku seakan tergetar.

“Ya Allah, ternyata masih ada orang seperti Pak Hasan di dunia ini, di saat yang lain tidak peduli lagi terhadap sesamanya,” batinku.

***

Hari ini adalah jadwal mata kuliah agama Islam di kampusku. Dari sang dosen aku pun mendapat penguatan atas apa yang aku lihat dari sosok Pak Hasan. Pak Ibrahim, dosen agama Islam menyitir sebuah hadis. Ia mengungkapkan bahwa Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal peruatan tanpa iman.”

“Jadi apa yang dilakukan Pak Hasan merupakan wujud pengejawantahan rasa syukur dan imannya. Subhanallah,” pikirku dalam hati.

Pak Ibrahim kembali mengutip sebuah hadis riwayat Muslim, ”Engkau dapat membantu orang yang bekerja atau bekerja untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan,” ungkap Pak Ibrahim.

Pak Ibrahim menerangkan bahwa hal tersebut adalah termasuk sedekah (amalan) utama selain yang paling utama, yakni beriman kepada Allah dan berjuang dijalan-Nya.

Mendengar hal ini, pikiranku melayang mengingat apa yang biasa dilakukan Pak Hasan setiap harinya salat berjemaah, berjuang menafkahi keluarga, menyekolahkan kedua anaknya serta bersedekah kepada para tuna wisma sesuai dengan kemampuannya.

“Ya Allah, Subhanallah sungguh mulia Pak Hasan. Ya Allah jadikan hamba termasuk orang yang mulia seperti Pak Hasan dan berilah taufik kepada hamba untuk senantiasa beramal saleh” ucap dan pintaku lirih kepada-Nya.